ii
ABSTRAK
Kesetimbangan adalah keadaan dimana tidak terjadi perubahan sifat makroskopis dari sistem terhadap waktu. Tujuan percobaan ini adalah menjelaskan, merancang dan menganalisis kurva kesetimbangan uap cair. Campuran yang digunakan adalah campuran etanol air dengan variasi konsentrasi etanol 20%, 40%, 60% dan 80%. Titik didih campuran yang didapatkan berbanding terbalik dengan konsentrasi etanol. Kesetimbangan campuran etanol air 20% tercapai pada suhu 95°C. Campuran dengan konsentrasi 40%, 60% dan 80% berturut-turut adalah 91°C, 85°C dan 79°C. Hal ini dikarenakan titik didih etanol adalah 78°C dan titik didih air 100°C, sehingga titik didih campuran berada pada rentang keduanya. Pada kurva kesetimbangan etanol-air, hubungan antara Xw dalam satuan ˚brix yang didapat dari alat hand refractometer dengan komposisi etanol dalam campuran berbanding lurus.
Kata kunci : etanol-air, hand refractometer, kesetimbangan, titik didih campuran,
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. v
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Tujuan Percobaan ........................................................................................ 1
1.2 Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 1
1.2.1 Pengertian Kesetimbangan .............................................................. 1
1.2.2 Kriteria Kesetimbangan ................................................................... 2
1.2.3 Kesetimbangan Uap Cair (KUC) ..................................................... 5
1.2.4 Fugasitas di Fasa Uap ...................................................................... 9
1.2.5 Fugasitas di Fasa Cair ...................................................................... 10
1.2.6 Hukum Henry .................................................................................. 11
1.2.7 Hukum Roult .................................................................................... 12
1.2.8 Bubble Point (Suhu Titik Gelembung) ............................................ 13
1.2.9 Referensi oBrix dari Berbagai Sumber ............................................. 13
BAB II METODOLOGI PERCOBAAN
2.1 Bahan-bahan ................................................................................................ 15
2.2 Alat-Alat ...................................................................................................... 15
2.3 Prosedur Percobaan ..................................................................................... 15
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Kurva Kesetimbangan Etanol-Air ............................................................... 16
3.2 Fraksi Berat Etanol dan Air dari Percobaan ................................................ 19
iv
3.3 Fraksi Berat Etanol dan Air dari Literatur ................................................... 21
3.4 Perbandingan Konstanta Kesetimbangan Percobaan Vs Literatur .............. 22
3.5 Perhitungan ΒΊBrix pada Bahan Murni .......................................................... 22
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan .................................................................................................. 27
4.2 Saran ............................................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran A Perhitungan ....................................................................................... 29
Lampiran B Tabel Hasil Perhitungan .................................................................... 40
Lampiran C Dokumentasi
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kurva Kesetimbangan Cyclohexsane-Toluene............................8
Gambar 3.1 Kurva Kesetimbangan Etanol-Air ...............................................16
Gambar 3.2 Grafik Hubungan Konsentrasi Etanol Terhadap
Suhu Percobaan ...........................................................................19
Gambar 3.3 Grafik Hubungan Konsentrasi Etanol
terhadap Suhu pada Literatur .......................................................20
Gambar B.1 Larutan Etanol-Air Konsentrasi 20%,40%,60% dan 80% ..........30
Gambar B.2 Rangkaian Alat Kesetimbangan Uap Cair ..................................30 Gambar B.3 (a)Etanol 96% dan (b) Hand Refractometer ...............................30
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Referensi oBrix .................................................................................13
Tabel 3.1 Hubungan Komposisi Etanol dengan oBrix......................................17
Tabel 3.2 Fraksi Etanol pada Kondisi Kesetimbangan .....................................18
Tabel 3.3 Data Psat etanol dan Psat air ................................................................19
Tabel 3.4 Perbandingan Data Fraksi Etanol dan Air .........................................19
Tabel 3.5 Interpolasi Fraksi Berat Literatur pada Suhu Kesetimbangan...........21
Tabel 3.6 Perbandingan Konstanta Kesetimbangan ..........................................22
Tabel 3.7 Pengertian Derajat Brix .....................................................................23
Tabel A.1 Hasil Perhitungan dan Pengamatan Campuran Etanol-Air ..............26
Tabel A.2 Hasil Perhitungan Fraksi Volume Etanol .........................................26
Tabel A.3 Hasil Perhitungan Psat pada Beberapa Temperatur ...........................27
Tabel A.4 Hasil Perhitungan Fraksi Berat Etanol dalam Percobaan .................27
Tabel A.5 Fraksi Berat Etanol dalam Literatur .................................................28
Tabel A.6 Hasil Interpolasi Fraksi Berat Etanol Menurut Literatur ..................28
Tabel A.7 Hasil Perbandingan Nilai K Secara Percobaan dan Literatur ...........29
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
a. Merancang dan menjelaskan eksperimen
b. Membuat dan menganalisis kurva kesetimbangan uap cair
1.2 Tinjauan Pustaka
1.2.1 Pengertian Kesetimbangan
Kesetimbangan mengandung pengertian bahwa suatu keadaan dimana tidak terjadi perubahan sifat makroskopis dari sistem terhadap waktu. Untuk material dalam jumlah tertentu, hal tersebut dapat diartikan tidak ada perubahan sifat material tersebut dengan waktu. Keadaan setimbang yang sebenarnya barangkali tidak pernah tercapai. Suatu proses berlangsung karena ada gaya penggerak dan selalu menuju ke titik kesetimbangan. Gaya ini merupakan selisih antara potensi pada keadaan seketika dan keadaan setimbang. Semakin dekat keadaan sistem dengan titik kesetimbangan, semakin kecil gaya penggerak proses semakin kecil pula laju proses dan akhirnya sama dengan nol bila titik kesetimbangan sudah tercapai.
Titik kesetimbangan hanya bisa tercapai secara teoritis dalam waktu yang tak terhingga. Pada prakteknya didalam pekerjaan ilmiah suatu kesetimbangan dianggap tercapai bila tidak ada lagi perubahan sifat atau keadaan seperti yang ditunjukkan oleh alat pengukur yang digunakan. Didalam masalah rekayasa kesetimbangan dianggap ada bilamana sifat yang ditunjukkan oleh praktek sama dengan sifat yang di hitung berdasarkan metoda yang menggunakan anggapan kesetimbangan. Contoh komposisi pada pelat distilasi dibanding dengan komposisi pelat teoritis.
Pada perhitungan stage wise contact konsep kesetimbangan memegang peran penting selain neraca panas dan neraca massa. Konsep rate processes tidak diperhatikan pada alat kontak jenis ini karena dianggap kontak pada alat ini
2
berlangsung dengan baik sehingga arus-arus yang keluar dari stage dalam keadaan kesetimbangan.
Perubahan suhu (T), tekanan (P), konsentrasi (C), dan entalpi (H) selama proses pemisahan dapat dianalisa berdasarkan konsep kesetimbangan termodinamik. Korelasi fase menurut kaidah fase Gibbs:
F = C – P + 2............................................................(1.1)
dimana:
F = Variabel intensif/bebas
C = Jumlah spesies atau komponen dalam sistem
P = Jumlah fase dalam sistem
Jadi, untuk komposisi (konsentrasi) dan tekanan kesetimbangan tertentu, maka suhu kesetimbangan tertentu pula. Untuk komposisi (konsentrasi) dan suhu kesetimbangan tertentu, maka tekanan kesetimbangan akan tertentu pula. Jika dipilih suhu dan tekanan kesetimbangan tertentu, maka konsentrasi kesetimbangan akan tertentu pula.
1.2.2 Kriteria Kesetimbangan
Yang dimaksud disini bukan sekedar kriteria yang berupa kesetimbangan termal dan mekanikal secara internal yang biasa kita terjemahkan sebagai berlakunya T dan P yang uniform, melainkan pembatasan-pembatasan termodinamika pada sistem dengan fasa banyak dan komponen banyak yang mengalami keadaan kesetimbangan. Sekalipun sudah ada kesetimbangan termal dan mekanikal dalam sistem demikian masih dimungkinkan perpindahan massa antar fasa. Jadi kriteria yang dimaksudkan disini termasuk kesetimbangan antar fasa ditinjau dari segi kemungkinan perpindahan antar fasa tersebut. Kriteria ini pertama kali diturunkan oleh Gibbs.
Dimisalkan bahwa sistem multi komponen yang tertutup yang terdiri dari sejumlah fasa mempunyai temperatur dan tekanan yang uniform, akan tetapi pada keadaan awal sistem ini tidak setimbang ditinjau dari segi perpindahan massa. Setiap perubahan yang terjadi mesti bersifat irreversible, yang mendekatkan sistem
3
ini pada keadaan setimbang. Sistem ini dibayangkan dikelilingi keadaan yang selalu
setimbang secara termal dan mekanikal dengan sistem (sekalipun perubahan terjadi
dalam sistem), karena pertukaran panas dan pemuaian kerja antar sistem dan
sekelilingnya terjadi secara reversible. Dalam keadaan yang demikian perubahan
entropi dari sekeliling sistem:
sur
sur
sur T
dQ
dS .........................................................(1.2)
Ditinjau dari sistem panas yang berpindah adalah –dQ yang mempunyai harga
numerik mutlak sama dengan dQsur. Selanjutnya Tsur = T dari sistem (setimbang
secara termal). Maka:
T
dQ
T
dQ
dS
sur
sur
sur
.............................................(1.3)
menurut hukum ke dua termodinamika:
0 sur
t dS dS .................................................(1.4)
dimana St = entropi total dari sistem.
Gabungan dari persamaan (2) dan (3) menjadi:
0
T
dQ
dSt atau t dQ TdS
Penerapan hukum pertama termodinamika:
t t dU dQ dW dQ PdV
t t dQ dU PdV
jadi t t dU PdV TdS
atau 0 t t t dU PdV TdS
0 , t t U V
t dS
...................................................................
(1.5)
Suatu sistem yang terisolasi mesti mempunyai syarat bahwa energi internal
dan volum tetap, maka untuk sistem semacam itu diketahui langsung dari hukum
kedua bahwa persamaan terakhir berlaku. Dari perumpamaan sistem persamaan
4
0 t t t dU PdV TdS berlaku untuk T dan P yang tetap. Persamaan itu bisa juga
ditulis sebagai berikut:
0 , , , T P
t
T P
t
T P
t dU dPV dTS atau
0 , T P
t t d U PV TS .......................................(1.6)
Persamaan terakhir perlu mengingat bahwa T,P tetap merupakan persyaratan yang
mudah untuk diatur. Keadaan setimbang dari sistem tertutup adalah keadaan yang
energi bebas Gibbs totalnya adalah minimum ditinjau dari perubahan pada T,P
tertentu. Pada keadaan setimbang variasi dalam kadar differensial dapat terjadi
didalam sistem pada T dan P yang tetap. Tanpa mengakibatkan perubahan Gt, jadi:
0 , T P
t dG ....................................................(1.7)
Untuk menerapkan kriteria ini pada kesetimbangan fasa, sebaiknya ditinjau
sebuah sistem tertutup yang terdiri dari dua fasa, A dan B. Setiap fasa dapat
dianggap sebagai sistem terbuka yang memungkinkan perpindahan massa dari fasa
yang satu ke fasa yang lain. Untuk masing-masing fasa berlaku:
i i nG nS dT nV dP dn .............................(1.8a)
i i nG nS dT nV dP dn .............................(1.8b)
karena T dan P tetap maka penjumlahan ke dua persamaan menghasilkan:
T P i i i i
t nG dn dn , ........................................(1.9)
didalam sistem yang tertutup berlaku:
i i dn dn ..........................................................(1.10)
jadi,
0 i i i dn .................................................(1.11)
Karena
i dn sembarang dan bebas maka satu-satunya penyelesaian agar persamaan
terakhir sama dengan 0 adalah:
i i ....................................................(1.12)
5
untuk sistem multi komponen:
i N i i i ... 1,2,3... ...............................(1.13)
diketahui bahwa:
6
ln i i d RTd f (T tetap)
atau
^
ln i i RT f
adalah tetapan integrasi harganya hanya tergantung pada T. Oleh karena pada
kesetimbangan fasa, semua fasa berada pada T yang sama, maka syarat diatas dapat
diganti:
^ ^ ^
...
i i i f f f .............................................(1.14)
1.2.3 Kesetimbangan Uap Cair (KUC)
Jumlah derajat kebebasan F pada kesetimbangan adalah perbedaan antara
jumlah variabel yang diperlukan untuk karakterisasi keadaan intensif sistem dan
jumlah persamaan bebas yang menyatakan hubungan variabel-variabel tersebut.
Didalam KUC dengan jumlah komponen n dan jumlah fasa 2 terdapat
variabel T, P, N-1 fraksi mol dalam cairan dan N-1 fraksi mol dalam uap, jadi
jumlah variabel adalah 2N. Persamaan Gibbs-Duhem sebagai kriteria
kesetimbangan.
π̂
π
π = π̂
π
πΏ ( i = 1, 2, ..., N)........................................(1.15)
Memberikan N persamaan bebas sehingga jumlah variabel yang harus ditetapkan
untuk fixing sistem adalah N, y.i T atau P dan N-1 fraksi mol cairan atau uap N
variabel yang lain selanjutnya dapat dihitung, digunakan persamaan:
f y P i
v
i
v
i π̂
π
π = π© ̂
π
ππ¦ππ.....................................(1.16)
f x P i
v
i
v
i ..................................................(1.17)
Gabungan persamaan (1.15), (1.16) dan (1.17) menjadi:
i
v
i i
L
i x y .................................................(1.18)
6
Di dalam persamaan terakhir xi dan yitidak berdiri explisit mengingat baik L
i
maupun v
i adalah fungsi dari T, P dan komposisi; hubungan tersebut merupakan
hubungan yang kompleks. Menyatakan hubungan antara i dengan T, P dan
komposisi memerlukan persamaan keadaan yang menggambarkan secara teliti
keadaan masing-masing campuran uap dan cairan. Beberapa kesukaran yang
dihadapi dalam kaitan ini:
1. Data biasanya tersedia untuk zat murni dan tidak ada aturan-aturan yang berlaku
secara umum untuk campuran.
2. Tidak ada persamaan keadaan yang secara umum berlaku untuk fasa cairan.
Untuk mendapatkan bentuk persamaan yang lebih mudah digunakan
dilakukan penyederhanaan bila hal tersebut dibenarkan. Hasil yang paling
sederhana diperoleh bila diumpamakan bahwa fasa uap bersifat gas ideal dan fasa
cairan merupakan larutan ideal.
1. Bila fasa uap bersifat gas ideal:
π© ̂
π
π = 1 1 v
i ..................................................(1.19)
2. Bila fasa cairan merupakan larutan ideal:
P
f
x P
x f
x P
f L
i
i
L
i i
i
L
L i
i ............................................(1.20)
3. Bila fugasitas cairan tidak peka terhadap tekanan:
π̂
π
πΏ = ππ
π ππ‘ sat
i
L
i f f ............................................(1.21)
Berdasarkan anggapan sat
i
L
i f f
π̂
π
πΏ = ππ
π ππ‘ sat
i
L
i f f
P
Psat
L
i
Hasil secara keseluruhan:
i
sat
i y
P
P
x Pi = yi P = xiPsat
7
Persamaan terakhir merupakan rumus hukum Raoult. Persamaan tidak
realistik, disebabkan terutama oleh asumsi kedua yang biasanya tidak berlaku,
kecuali sistemnya terdiri dari komponen yang serupa secara kimiawi dan dalam
ukuran molekul. Sebagai koreksi terhadap keadaan terakhir diintroduksikan
koefisien aktifitas. Berikut ini diturunkan persamaan yang umum:
f y P V
i i
v
i untuk fasa uap dan
o
i i i
L
i f x f untuk fasa cair
x f y P i
V
i
o
i i i ...................................................(1.22)
Dengan persamaan terakhir penyelesaian KUC dilaksanakan melalui
pendekatan:
1. Untuk fasa uap digunakan konsep koefisien fugasitas yang dihitung dengan
menggunakan PVT data.
( , , ,....., ) 1 i N
V
i P T y y ..................................(1.23)
2. Untuk fasa cair digunakan konsep koefisien aktifitas. Konsep ini menggantikan
konsep koefisien fugasitas yang tidak bisa diterapkan karena tidak ada
persamaan keadaan yang berlaku secara untuk cairan.
( , , , ,...., ) 2 1 i i N P T x x x .................................(1.24)
Dua konsep itu terpisah satu sama lain. Dalam arti kata V
i tidak dipengaruhi
oleh komposisi cairan dan sebaliknya πΈπ tidak dipengaruhi oleh komposisi uap.
Telah diuraikan bahwa untuk sistem N komponen dan dua fasa ada N derajat
kebebasan, artinya N variabel dapat ditentukan secara bebas sedang N variabel yang
lain merupakan variabel tidak bebas dan dapat dihitung. Beberapa bentuk persoalan
dalam KUC:
1. Menghitung T dan yi pada titik gelembung, bila ditentukan P dan xi (i = 1..n-1)
2. Menghitung P dan yi pada titik gelembung, bila ditentukan T dan xi (i =1..n-1)
3. Menghitung T dan xi pada titik embun, bila ditentukan P dan yi ( i = 1,2,...N-1)
4. Menghitung P dan xi pada titik embun, bila ditentukan T dan yi ( i = 1,2,...N-1)
8
Untuk menentukan tekanan uap murni komponen dapat didekati dengan
persamaan Antoine yaitu:
Psat = Exp (A −
B
T+C
)..........................................(1.25)
Untuk memprediksikan tekanan uap etanol:
Psat = exp (18,9119 −
3803,98
T−41,68
).....................................(1.26)
Untuk memprediksikan tekanan uap air:
Psat = exp (18,3036 −
3816,44
T−46,13
)................................... (1.27)
Psat dan T pada persamaan (1.26) dan (1.27) dalam satuan mmHg dan derajat kelvin.
Konstanta kesetimbangan uap cair dapat ditentukan dari persamaan Hukum Raoult:
i
i
sat
i
x
y
P
P
K π² =
π·π
πππ
π·
=
ππ
ππ
....................................(1.28)
(a) (b)
Gambar 1.1 Kurva Kesetimbangan Cyclohexsane-Toluene pada (a) Tekanan
Konstan (b) Temperatur Konstan
Dalam sebuah campuran dua fasa uap-cair pada kesetimbangan, suatu
komponen dalam fasa berada dalam kesetimbangan dengan komponen yang sama
dalam fasa lain. Hubungan kesetimbangan tergantung kepada suhu, tekanan, dan
komposisi campuran tersebut. Gambar 1.1 merupakan salah satu contoh diagram
dari kesetimbangan uap cair untuk sistem cyclohexane-toluene, dimana pada (a)
kesetimbanganpada temperatur konstan dan (b) kesetimbangan pada temperatur
konstan (Abbott, 1989). Kurva ABC pada Gambar 1.1 menunjukkan keadaan
9
campuran cair jenuh, yang disebut dengan kurva bublepoint. Kurva ADC merupakan kurva dewpoint, yang menunjukkan uap jenuh.
Perhitungan kesetimbangan uap cair dilakukan untuk menentukan komposisi fasa uap dan fasa cair suatu campuran yang berada dalam keadaan setimbang. Perhitungan kesetimbangan uap cair diselesaikan dengan menerapkan kriteria kesetimbngaan uapcair. Dua fasa berada dalam kesetimbangan termodinamik apabila temperatur dan tekanan kedua fasa sama serta potensial kimia masing-masing komponen yang terlibat di kedua fasa bernilai sama. Dengan demikian, pada temperatur dan tekanan tertentu, kriteria kesetimbangan uap cair dapat dinyatakan sebagai berikut:
ΞΌi V = ΞΌi L..........................................(1.29)
dimana ΞΌi adalah potensial kimia komponen i (1,2...n), N adalah jumlah komponen, V dan L menyatakan fasa uap dan fasa cair.
Potensial kimia adalah besaran yang tidak mudah dipahami dan juga sukar dihubungkan dengan variabel-variabel yang mudah diukur seperti tekanan, temperatur, dan komposisi. Untuk mengatasi hal tersebut, Lewis mengemukakan sebuah konsep yang dikenal sebagai konsep fugasitas. Berdasarkan konsep ini, kesamaan potensial kimia dapat diartikan pula sebagai kesamaan fugasitas tanpa mengurangi arti yang terkandung di dalamnya (Prausnitz, 1991). Dengan demikian, kriteria kesetimbangan uap-cair dapat dituliskan kembali sebagai:
fi V = fi L ..........................................(1.30)
dimana fi adalah fugasitas komponen i (1,2....n).
1.2.4 Fugasitas di Fasa Uap
Fugasitas di fasa uap dinyatakan dalam bentuk koefisien fugasitas yang didefinisikan sebagai perbandingan antara fugasitas di fasa uap dan tekanan parsial komponen. Berdasarkan definisi ini, hubungan antara fugasitas dan koefisien fugasitas di fasa uap dinyatakan sebagai:
fi V = ΞΈiV .yiP..........................................(1.31)
10
dimana ΞΈ adalah koefisien fugasitas, y adalah fraksi mol komponen di fasa uap dan
P adalah tekanan total.Koefisien fugasitas dihitung berdasarkan data volumetrik
dengan cara sebagai berikut:
dP
P
RT
n
V
RT
P
i T P n
i
i
0 , ,
1
ln ................................(1.32)
atau
dV z
P
RT
n
V
RT
P
i T P n
i
i
ln
1
ln
0 , ,
...........................(1.33)
dimana T adalah temperatur, V adalah volum parsial, n adalah jumlah mol, z adalah
faktor pemampatan (compressibility factor) dan R adalah konstanta gas.
Kedua persamaan di atas menunjukkan bahwa koefisien fugasitas dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan keadaan, persamaan yang
menghubungkan tekanan, temperatur, volum danatau komposisi. Persamaan
dengan fungsi dP dipakai apabila persamaan keadaan yang ada berupa fungsi
eksplisit dalam volum, temperatur, dan komposisi. Sedangkan persamaan dengan
fungsi dV dipakai bila persamaan keadaan yang ada berupa fungsi eksplisit dalam
tekanan, temperatur, dan komposisi.
1.2.5 Fugasitas di Fasa Cair
Fugasitas di fasa cair umumnya dinyatakan dalam bentuk koefisien aktifitas
yang didefinisikan sebagai perbandingan antara fugasitas di fasa cair dan hasil kali
antara fraksi mol komponen di fasa cair dan fugasitas komponen pada keadaan
standar dalam perhitungan-perhitungan koefisien aktifitas adalah kondisi cairan
murni.
1. Jika keadaan cairan murni dipakai sebagai keadaan standar, koefisien aktifitas
dinyatakan sebagai: fi
L = Ξ³i xifi
OL, dimana Ξ³ adalah koefisien aktifitas, x adalah
fraksi mol komponen di fasa cair, f0
L adalah fugasitas cairan murni.
11
2. Koefisien fugasitas dapat dihitung berdasarkan data energi bebas Gibbs berlebih
(excess Gibbs energy). Persamaan-persamaan untuk menghitung koefisien
aktivitas anatara lain Persamaan Van Laar, persamaan Margules, persamaan
Wilson, persamaan NRTL, dan sebagainya. Koefisien aktivitas juga dapat
dihitung dengan menggunakan metoda kelompok (group method) seperti
dengan metoda UNIFAC dan metoda ASOG.
Suku eksponen dalam persamaan di atas dinamakan faktor koreksi Poynting
(Poynting correction). Jika cairan bersifat tidak termampatkan dan uap komponen
pada keadaan jenuhnya dapat dianggap sebagai gas ideal, persamaan di atas dapat
disederhanakan menjadi:
i
V
i
P
P
S
i
OL
S i
T P i
OL
i RT
V P P
f P
( )
( , ) exp ......................(1.34)
Jika faktor koreksi Poynting mendekati 1, maka:
S
i
SV
T P i
OL
i f ( , ) P ..........................................(1.35)
Fugasitas di fasa cair juga sering dinyatakan dalam bentuk koefisien fugasitas.
Dalam hal ini fugasitas dinyatakan sebagai:
f x P i
SV
i
L
i ..........................................(1.35)
Cara di atas memungkinkan masalah kesetimbangan uap-cair dapat diselesaikan
dengan menggunakan sebuah persamaan keadaan.
1.2.6 Hukum Henry
Digunakan untuk komponen yang fraksi molnya mendekati nol, seperti fas
encer yang dilarutkan sebagai cairan :
Pi Hi.xi ..........................................(1.36)
Untuk Pi adalah tekanan dalam fase gas dari komponen encer pada
kesetimbangan pada suatu suhu, dan Hi adalah konstanta hukum Henry. Catat
bahwa dalam limit dimana xi=0. Pi=0. Nilai Hi dapt ditentukan dalam buku
referensi.
12
Perhitungan tekanan parsial suatu gas dalam fase gas yang berada dalam
kesetimbangan dengan gas terlarut dalam fase cair jika Hukum Henry berlaku
sungguh sederhana. Ambil sebagai contoh CO2 yang dilarutkan dalam air pada
400C dimana nilai H adalah 69.600 atm/fraksi mol. (Nilai H yang besar
menunujukkan bahwa CO2(g) hanya sedikit larut dalam air). Contohnya, jika
xCO2 = 4,2 x 106,
Tekanan parsial CO2 dalam fase gas adalah :
P CO2 = 69.000(4,2 x 106) = 0,29 atm
1.2.7 Hukum Raoult
Digunakan untuk komponen yang fraksi molnya mendekati satu atau larutan
dari komponen-komponen yang benar-benar mirip dalam sifat kimia, seperti rantai
lurus hidrokarbon.Misalnya subskrip i menunjukkan komponen, Pi tekanan parsial
dari komponen i dalam fase gas yifraksi mol gas-gas dan xi fraksi mol fase cair.
Maka :
Pi Pi.xi ........................................................(1.37)
Dimana xi = 1 : Pi=Pi . Dengan menggunakan persamaan diatas dan
mengasumsikan bahwa Hukum Dalton berlaku untuk fasa gas (Pi=Ptot .yi) maka
didapatkan persamaan untuk konstanta kesetimbangan yaitu:
Ptot
Pi
xi
yi
Ki ...................................................(1.38)
Masalah khas yang mungkin akan ditemui dalam mencari konstanta
kesetimbangan antara lain :
1. Menghitung bubble point dari suatu campuran cairan dengan diberikan tekanan
total dan komposisi cairan.
2. Menghitung dew Point dari suatu campuran uap dengan diberikan tekanan total
dan komposisi uap.
3. Menghitung komposisi uapcair pada saat kesetimbangan.
13
1.2.8 Bubble Point (Suhu Titik Gelembung)
Bubble Point (dengan diberikan tekanan total dan komposisi cairan) maka
persamaan (1.29) dimana yi=Ki.xi dan Ξ£yi = 1 maka persamaannya menjadi :
n
i
Ki xi
1
1 . .......................................................(1.39)
Dimana Ki adalah fungsi suhu dan n adalah jumlah komponen. Karena setiap
kenaikkan Ki dengan suhu, Persamaan (1.39) mempunyai hanya satu akar
positif.Maka dapat digunakan metoda Newton untuk memperoleh akar tersebut.Jika
anda dapat menyatakan tiap Ki sebagai sebuah fungsi eksplisit dari suhu.Untuk
sebuah larutan indeal persamaannya menjadi :
n
i
Ptot Pi xi
1
. ...............................................(1.40)
dan dengan menggunakan persamaan Antoine untuk Pi. Setelah suhu titik embun
ditemukan, maka komposisi uap dapat dihitung dari :
Ptot
Pi xi
yi
.
.....................................................(1.41)
1.2.9 Referensi oBrix dari Berbagai Sumber
Tabel 1.1 Referensi oBrix
No Nama Pengertian
1 Melda
Fakhriana
(2014)
Suatu pengukuran yang digunakan untuk menentukan
jumlah gula dalam sebuah larutan, berdasarkan pada
pembiasan cahaya. Terutama digunakan dalam industri
minuman ringan dan minuman buah.
2 Risvan
Kurwuj
(2011)
oBrix merupakan pronsentasi dari bahan terlarut dalam
sample (larutan air). Kadar bahan terlarut merupakan total
dari semua bahan dalam air, termasuk gula, garam, protein,
asam dsb. Pada dasarnya oBrix dinyatakan sebagai jumlah
gram dari cane sugar yang terdapat dalam larutan 100g cane
sugar. Jadi pada saat mengukur larutan gula, oBrix harus
benar-benar tepat sesuai dengan konsentrasinya.
14
3
Govindra O.S,P (2012)
oBrix adalah zat kering terlarut (semu) dalam satu larutan sakarosa murni yang penentuannya dipergunakan (didapat) dengan alat penimbang obrix atau diperhitungkan dari berat jenis menurut cara yang sudah ditentukan.Sedangkan obrix adalah berapa bagian zat kering (gula dalam kotoran) terlarut dalam 100 bagian larutan yang penentuannya didasarkan atas berat jenis larutan dengan alat penimbang brix.
4
Kelompok 5 (2016)
oBrix adalah jumlah zat padat semu yang larut (dalam gr) setiap 100 gr larutan. Jadi misalnya brix nira = 16, artinya bahwa dari 100 gram nira, 16 gram merupakan zat padat terlarut dan 84 gramadalah air. Untuk mengetahui banyaknya zat padat yang terlarut dalam larutan (brix) diperlukan suatu alat ukur.
15
BAB II
METOLOGI PERCOBAAN
2.1 Bahan-bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan adalah :
a. Etanol 96%
b. Aquadest
2.2 Alat-alat
Alat yang dipakai yang terdiri dari :
a. Rangkaian alat kesetimbangan
b. Hand Refraktometer
c. Gelas ukur
d. Pipet tetes
e. Corong
f. Erlenmeyer
2.3 Prosedur Percobaan
1. Rangkaian peralatan KUC disusun.
2. Labu 100 ml diisi dengan etanol masing masing untuk konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80% dengan ditambahkan aqudest hingga volume 100 ml.
3. 50 ml campuran etanol air dimasukkan kedalam labu leher dua.
4. Labu ditutup dengan dipasangkan rangkaian condenser dengan pengambil sampel kondensat dan pengambil sampel cairan.
5. Ketel pemanas dan kran air kondenser dinyalakan. Kenaikan temperatur diamati dan kondisi setimbang diamati hingga temperatur tetap.
6. Sampel uap yang terkondensasi diambil dan dianalisa dengan hand refractometer.
7. Sampel cair pada bottom diambil dan dianalisa dengan hand refractometer. Analisa diulangi untuk sampel yang belum dipanaskan.
8. Percobaan diulang untuk tiap tiap konsentrasi.
16
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Kurva Kesetimbangan Etanol-Air
Pada percobaan kesetimbangan uap cair pada campuran etanol-air dengan menggunakan komposisi etanol yang berbeda-beda, suhu ketika keadaan setimbang tercapai juga berbeda-beda. Air memiliki suhu titik didih 100ΒΊC, sedangkan etanol memiliki suhu titik didih 78ΒΊC.
Pada campuran etanol-air dengan komposisi etanol 0.2%, kondisi kesetimbangan tercapai pada suhu 95ΒΊC, hal ini dikarenakan pada campuran etanol-air masih didominasi oleh komposisi air bila dibandingkan dengan etanol. Pada komposisi etanol 0.4%, kondisi kesetimbangan tercapai pada suhu 91ΒΊC. Suhu kesetimbangan ini mulai mengalami penurunan, hal ini dikarenakan pengaruh dari komposisi etanol yang digunakan lebih besar daripada sebelumnya. Pada komposisi etanol 0.6%, kondisi kesetimbangan tercapai pada suhu 85ΒΊC. Suhu kesetimbangan mengalami penurunan yang cukup besar dibandingkan sebelumnya. Kondisi ini diakibatkan oleh komposisi etanol yang digunakan lebih banyak daripada komposisi air sehingga titik kesetimbangan berubah. Pada penggunaan komposisi etanol 0.8%, kesetimbangan pada campuran etanol-air tercapai pada suhu 79ΒΊC. Suhu kesetimbangan ini hampir mendekati titik didih dari etanol, hal ini dikarenakan pada campuran etanol-air, komposisi etanol yang digunakan jauh lebih besar daripada komposisi air sehingga keadaan kesetimbangan dapat tercapai pada saat mendekati suhu titik didih dari etanol.
Suhu yang diperoleh pada saat tercapainya kondisi kesetimbangan pada campuran etanol-air ini sesuai dengan referensi teoritis, dimana kondisi kesetimbangan dapat tercapai sesuai pada rentang suhu dimana campuran tersebut didominasi. Pernyataan ini dapat disesuaikan dengan suhu kesetimbangan yaitu pada komposisi etanol 0.2% yang didominasi oleh air, kesetimbangan tercapai pada suhu 95ΒΊC, dan pada komposisi etanol 0.8% yang didominasi oleh etanol, kesetimbangan tercapai pada suhu 79ΒΊC (Smith dkk, 2001).
17
Tabel 3.1 Hubungan Komposisi Etanol dengan oBrix Komposisi Etanol (%), xf Konsentrasi Etanol, ΒΊbrix Temperatur (ΒΊC) xw xD yD
0.2
1.4
0.4
5.5
95
0.4
1.5
0.5
6
91
0.6
3
2.5
6.5
85
0.8
6
5
6.8
79
Gambar 3.1 Kurva Kesetimbangan Etanol-Air
Pada kurva kesetimbangan etanol-air yang ditunjukkan oleh gambar 3.1 diatas, dapat dilihat hubungan antara xw dalam satuan ΒΊbrix dengan komposisi etanol yang digunakan pada campuran etanol-air, dimana xw merupakan konsentrasi mula-mula etanol murni yang diuji dengan menggunakan alat hand refractometer, sedangkan xf merupakan komposisi etanol yang digunakan pada campuran etanol-air. Adapun xD merupakan konsentrasi etanol dalam bentuk fasa cair yang terdapat pada bagian bottom product, dan yD merupakan konsentrasi etanol pada bagian top product yang diuji dalam bentuk cairan dengan alat hand refractometer.
Secara teoritis, hubungan antara komposisi xf yang digunakan dan xw ialah berbanding lurus. Apabila semakin tinggi konsentrasi etanol (xf) yang digunakan semakin tinggi, maka nilai dari xw yang diuji dengan hand refractometer juga akan semakin besar. Dari kurva kesetimbangan etanol-air pada gambar 3.1 dapat dilihat kesesuaian hasil dari grafik yang dihasilkan dengan referensi secara teoritis, dimana
y = 7.65x -0.85R² = 0.8477
0
2
4
6
8
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Xw ( ΒΊbrix )
Komposisi Etanol (%)
18
nilai dari xw semakin besar apabila konsentrasi dari etanol yang digunakan pada campuran etanol-air semakin tinggi, begitu juga sebaliknya nilai dari xw semakin kecil ketika konsentrasi etanol pada campuran etanol-air yang digunakan semakin rendah (Smith dkk, 2001).
Dengan menggunakan persamaan yang diperoleh dari grafik yaitu y = 7.65x – 0.85, dapat diperoleh nilai fraksi dari etanol pada campuran etanol-air dari percobaan. Perhitungan fraksi etanol pada tabel 3.2 didasarkan atas konsentrasi etanol dalam satuan ΒΊbrix.
Tabel 3.2 Fraksi Etanol pada Kondisi Kesetimbangan
Dari tabel 3.2, dengan menggunakan referensi data xw, xD, yD dari tabel 3.1, dapat dilihat bahwa pada kondisi kesetimbangan, semakin tinggi komposisi etanol yang digunakan pada campuran etanol-air, maka fraksi dari etanol yang dihasilkan juga akan semakin besar pada produk atas berupa kondensat (uap) yang diembunkan menjadi fasa cair, sehingga pada produk bawah komposisi etanol akan lebih rendah daripada produk atas. Hal ini dikarenakan pemanasan pada campuran etanol-air, etanol menguap terlebih dahulu pada kondisi kesetimbangan sehingga komposisi etanol pada produk atas lebih banyak daripada produk bawah.
Data yang diperoleh menunjukkan kesesuaian dengan referensi teoritis, dimana semakin tinggi komposisi etanol yang digunakan pada campuran etanol-air, maka fraksi etanol yang diperoleh dari percobaan juga akan semakin besar pada produk atas (Smith dkk, 2001).
Dengan menggunakan data temperatur kesetimbangan pada campuran etanol-air pada variasi komposisi etanol yang digunakan berbeda-beda, dapat diperoleh Komposisi etanol, xf Fraksi Etanol xw xD yD
0.2
0.294118
0.163399
0.830065
0.4
0.30719
0.176471
0.895425
0.6
0.503268
0.437908
0.960784
0.8
0.895425
0.764706
1
19
data Psat dari etanol dan Psat dari air. Adapun data yang diperoleh adalah sebagai berikut :
Tabel 3.3 Data Psat etanol dan Psat air
3.2 Fraksi Berat Etanol dan Air dari Percobaan
Berikut ini perbandingan data antara fraksi berat etanol dan air pada campuran etanol-air yang dihasilkan dari percobaan :
Tabel 3.4 Perbandingan Data Fraksi Etanol dan Air xf V etanol Berat etanol V air Berat air Fraksi berat etanol Fraksi berat air XD YD Xw Yw
0.20
14.706
11.603
35.294
35.223
0.2478
0.4612
0.7522
0.6240
0.40
15.359
12.118
34.640
34.571
0.2595
0.4181
0.7404
0.5291
0.60
25.163
19.854
24.836
24.787
0.4447
0.5727
0.5552
0.3149
0.80
44.771
35.324
5.228
5.218
0.8713
0.8892
0.1287
0.0574
Volume campuran etanol-air yang dipanaskan didalam labu hingga mencapai kesetimbangan adalah 50 ml. Berdasarkan data yang diperoleh dari tabel 3.4, menunjukkan hubungan yang timbal balik antara volume etanol dan volume air yang terdapat pada tiap komposisi xf, volume yang digunakan untuk etanol dan air ini disesuaikan dengan komposisi dari etanol yang digunakan pada campuran etanol-air. Oleh karena volume yang berbeda, maka berat dari etanol dan air juga berbeda didalam labu tersebut untuk mencapai kesetimbangan uap-cair.
Fraksi berat dari etanol menunjukkan hubungan yang berbanding lurus dengan jumlah komposisi etanol (xf) yang digunakan pada campuran etanol-air. Komposisi etanol (%), xf T (ΒΊC) Psat air Psat etanol
0.2
368
630.501
1,414.728
0.4
364
543.108
1,224.179
0.6
358
431.092
978.643
0.8
352
339.093
775.610
20
Semakin banyak komposisi etanol yang digunakan, maka semakin banyak pula fraksi berat dari etanol yang dihasilkan pada produk atas maupun produk bawah. Namun, fraksi berat dari air menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik dengan jumlah komposisi etanol yang digunakan pada campuran etanol-air. Semakin banyak komposisi etanol yang digunakan, maka semakin menurun fraksi berat dari air pada percobaan. Hal ini dikarenakan banyaknya komposisi etanol yang digunakan pada campuran etanol-air.
Gambar 3.2 Grafik Hubungan Konsentrasi Etanol Terhadap Suhu Percobaan
Dari grafik diatas, dapat dilihat bahwa hubungan antara suhu kesetimbangan dengan konsentrasi etanol (dinyatakan dalam parameter xD dan yD) yang digunakan pada campuran etanol-air ialah berbanding terbalik, hal ini dikarenakan semakin tinggi suhu kesetimbangan, berarti bahwa kandungan air didalam campuran etanol-air tinggi sehingga suhu kesetimbangan hampir mencapai suhu titik didih air, pernyataan ini dapat dilihat pada komposisi etanol 0.2% dimana suhu kesetimbangan 95ΒΊC. Seiring dengan penambahan komposisi etanol hingga 0.8%, suhu kesetimbangan pada campuran etanol-air tercapai pada suhu 79ΒΊC. Suhu kesetimbangan ini hampir mendekati titik didih dari etanol, hal ini dikarenakan pada campuran etanol-air, komposisi etanol yang digunakan jauh lebih besar daripada komposisi air sehingga keadaan kesetimbangan dapat tercapai pada saat mendekati suhu titik didih dari etanol. Dengan tercapainya kesesuaian antara data percoban dengan literature, maka dapat dikatakan bahwa percobaan terhadap suhu kesetimbangan pada campuran etanol-air sudah akurat (Geankoplis, 1993).
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
70
75
80
85
90
95
100
Konsentrasi Etanol
Suhu (ΒΊC)
XD
YD
21
3.3 Fraksi Berat Etanol dari Literatur
Berikut ini adalah data hasil interpolasi pada fraksi berat berdasarkan literatur yang disesuaikan dengan temperatur kesetimbangan pada tiap komposisi etanol yang digunakan (Geankoplis, 1993) :
Tabel 3.5 Interpolasi Fraksi Berat Literatur pada Suhu Kesetimbangan
Gambar 3.3 Grafik Hubungan Konsentrasi Etanol terhadap Suhu pada Literatur
Dari Gambar 3.3, dapat dilihat hubungan antara konsentrasi etanol (yang dinyatakan dalam parameter xD dan yD) dengan suhu sesuai dengan referensi literatur berbanding terbalik juga. Pernyataan dari Gambar 3.3 ini memiliki kesesuaian dengan referensi literature, dimana semakin tinggi suhu kesetimbangan campuran etanol-air, maka komposisi etanol pada suhu kesetimbangan yang tinggi tersebut pasti kecil. Hal ini dikarenakan masih terkandung banyaknya air dalam campuran etanol-air tersebut sehingga akan meningkatkan suhu kesetimbangan, hal ini dikarenakan titik didih dari air yang lebih tinggi daripada etanol. Dengan diperolehnya data berdasarkan literatur, dapat dijadikan sebagai pedoman / referensi dalam pengerjaan dalam percobaan kesetimbangan uap cair dengan bahan lainnya (Geankoplis, 1993).
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
70
75
80
85
90
95
100
Konsentrasi Etanol
Suhu (ΒΊC)
XD
YDTemperatur (˚C) X Y
95
0.052941
0.3858235
91
0.117778
0.5499333
85
0.288462
0.7064231
79
0.8125
0.86475
22
3.4 Perbandingan Konstanta Kesetimbangan Percobaan Vs Literatur
Perbandingan nilai konstanta kesetimbangan yang dihasilkan dari percobaan dan literatur dapat dinyatakan dalam data berikut :
Tabel 3.6 Perbandingan Konstanta Kesetimbangan
Berdasarkan data dari tabel 3.6, menunjukkan bahwa perbandingan nilai konstanta (K) kesetimbangan berdasarkan hasil percobaan dan literatur, adalah berbanding lurus terhadap temperatur kesetimbangan. Hal ini memiliki kesesuaian dengan referensi dimana semakin tinggi suhu kesetimbangan, maka semakin tinggi pula nilai konstanta kesetimbangan yang dihasilkan. Begitu juga sebaliknya apabila semakin rendah suhu kesetimbangan, maka semakin rendah juga nilai konstanta kesetimbangan yang dihasilkan (Geankoplis, 1993).
3.5 Penghitungan ΒΊBrix pada Bahan Murni
Bahan yang digunakan pada percobaan kesetimbangan uap cair ialah aquades dan etanol. Aquades yang digunakan pada campuran etanol-air bersifat murni. Pengujian yang dilakukan terhadap aquades dengan menggunakan hand refractometer menghasilkan data berupa nilai konsentrasi aquades sebesar 0 ΒΊBrix.
Derajat brix (ΒΊBrix) merupakan nilai konsentrasi yang menunjukkan banyaknya jumlah zat padat (dalam satuan gram) yang larut dalam setiap 100 gram larutan. Pada aquades bernilai konsentrasi 0 ΒΊBrix, hal ini berarti bahwa tidak adanya zat terlarut ( 0 gram ) dalam 100 gram pelarut. Berdasarkan pernyataan tersebut, aquades sering difungsikan sebagai pelarut pada pembuatan larutan (Apriwinda, 2013).
Temperatur (oC) K Percobaan Literatur
95
1.861
7.287777778
91
1.611
4.669245283
85
1.288
2.448933333
79
1.021
1.064307692
23
Tabel 3.7 Pengertian Derajat Brix
No.
Nama
Pengertian
1
Apriwinda (Januari, 2013)
Brix merupakan banyaknya jumlah zat padat semu yang larut setiap 100 gram didalam larutan.
2
Wikipedia (November, 2016)
Brix merupakan simbol yang digunakan sebagai penentuan komposisi kandungan gula (zat terlarut) didalam larutan.
3
Galery (Juni, 2015)
Brix merupakan kadar yang digunakan sebagai pengukur total padatan terlarut yang mengandung gula didalam suatu larutan
4
Kelompok 5 (Labtek, 2016)
Derajat Brix merupakan suatu parameter yang digunakan untuk mengetahui nilai konsentrasi zat padat terlarut (banyaknya zat terlarut) didalam suatu campuran larutan
24
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Pada kurva kesetimbangan etanol-air, apabila semakin besar komposisi etanol yang digunakan, maka nilai konsentrasi etanol pada produk atas dan bawah akan semakin tinggi, serta kesetimbangan akan tercapai pada suhu yang lebih rendah daripada penggunaan konsentrasi etanol yang lebih rendah.
2. Semakin banyak komposisi etanol yang digunakan pada campuran etanol-air, maka fraksi berat etanol akan semakin besar pada produk atas maupun produk bawah, namun fraksi berat air akan semakin kecil dikarenakan banyaknya komposisi etanol didalam campuran.
3. Berdasarkan literatur, apabila semakin tinggi suhu kesetimbangan, maka konsentrasi etanol didalam campuran akan semakin kecil. Hal ini dikarenakan banyaknya etanol yang menguap pada suhu kesetimbangan yang lebih tinggi.
4. Nilai konstanta kesetimbangan (K) akan menurun seiring dengan menurunnya suhu kesetimbangan pada penggunaan konsentrasi etanol yang lebih tinggi pada campuran etanol-air. Hal ini dikarenakan semakin banyaknya etanol yang digunakan pada campuran.
5. Derajat brix pada bahan aquades murni bernilai 0 menunjukkan tidak adanya zat terlarut yang larut didalam pelarut sehingga aquades dikatakan sebagai pelarut pada suatu campuran.
4.2 Saran
1. Dibutuhkan ketelitian dan ketepatan dalam membuat campuran etanol-air dengan komposisi yang sesuai.
2. Pengujian dengan alat hand refractometer harus dalam keadaan bersih dan steril dari pengaruh campuran zat lain.
25
DAFTAR PUSTAKA
Apriwinda. 2013. Studi Fermentasi Nira Batang Sorgum Manis untuk Produksi Etanol. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Hasanuddin. 24-27
Galery. 2015. Menghitung Nilai %Brix dan Pol pada Unit Kristalisasi. http://duniagalery.blogspot.co.id/menghitung-nilai-%brix-dan-pol.html. Diakses pada 22 November 2016
Geankoplis, C.J. 1993. Transport Process and Unit Operation 3rd edition. Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs : New Jersey America.
Smith, J.M. Ness, V.H.C. Abbott, M.M. 2001. Introduction to Chemical Engineering Thermodynamics 6th edition. McGraw-Hill : New York.
26
LAMPIRAN A
1. Perhitungan untuk Konsentrasi Etanol-Air
V Larutan = 100 ml
Konsentrasi etanol = 96 %
Konsentrasi etanol = 20% ; 40% ; 60% ; 80%
a. 20%
Nb = ππ π΄ππ’ππππ ππ π΄ππ’ππππ = 4.9 ππ18 ππ/πππ = 0.27 mol
XA = ππππ+ππ
0.2 = π₯/46π₯46+ 0.27
0.2 π₯46 + 0.054 = π₯46
0.054 =π₯46 - 0.2 π₯46
0.054 = 0.8 π₯46
X = 3.1 gram
V = πππ = 3.1 ππ0.8
b. 40%
Nb = ππ π΄ππ’ππππ ππ π΄ππ’ππππ = 4.9 ππ18 ππ/πππ = 0.27 mol
XA = ππππ+ππ
0.4 = π₯/46π₯46+ 0.27
0.4 π₯46 + 0.108 = π₯46
0.108 = π₯46 - 0.4 π₯46
0.6 x = 4.968
X = 8.28 gram
V = πππ = 8.28 ππ0.8 = 10.35 ml
27
c. 60%
Nb = ππ π΄ππ’ππππ ππ π΄ππ’ππππ = 4.9 ππ18 ππ/πππ = 0.27 mol
XA = ππππ+ππ
0.6 = π₯/46π₯46+ 0.27
0.6 π₯46 + 0.162 = π₯46
0.4 π₯46= 0.162
0.4 x = 7.452
X = 18.63 gram
V = πππ = 18.63 ππ0.8 = 23.875 ml
d. 80%
Nb = ππ π΄ππ’ππππ ππ π΄ππ’ππππ = 4.9 ππ18 ππ/πππ = 0.27 mol
XA = ππππ+ππ
0.8 = π₯/46π₯46+ 0.27
0.8 π₯46 + 0.216 = π₯46
0.2 π₯46 = 0.216
0.2 x = 9.93
X = 49.68 gram
V = πππ = 49.68 ππ0.8
= 62.1
28
Tabel A.1 Hasil Perhitungan dan Pengamatan Campuran Etanol-Air
Keterangan :
XF = Fraksi Umpan
Xw = Etanol-air awal
XD = Fasa uap etanol-air
YD = Fasa cair etanol-air
2. Fraksi Volume Etanol
Diketahui dari grafik kesetimbangan etanol-air persamaan garisnya
y = 7.65x - 0.85
Untuk fraksi volume etanol pada cairan dan kondensat maka : x=(y+0.85)7.65
Tabel A.2 Hasil Perhitungan Fraksi Volume Etanol
3. Psat Pada Setiap Temperatur
Persamaan Antoine untuk mencari Psat air : Psat=exp(18,3036−3816,44T−46,13)
XF
Konsentrasi Etanol, ΒΊbrix
Temperatur (ΒΊC)
XD
XD
YD
0.2
1.4
0.4
5.5
95
0.4
1.5
0.5
6
91
0.6
3
2.5
6.5
85
0.8
6
5
6.8
79
Xf
Fraksi Volume Etanol
Xw
Xd
Yd
0.2
0.29411765
0.163398693
0.830065359
0.4
0.30718954
0.176470588
0.895424837
0.6
0.50326797
0.437908497
0.960784314
0.8
0.89542484
0.764705882
1
29
Persamaan Antoine untuk mencari Psat etanol : Psat=exp(18,9119−3803,98T−41,68)
Tabel A.3 Hasil Perhitungan Psat pada beberapa temperatur
4. Fraksi Berat Etanol dalam Percobaan
a. Ο Etanol = 0,789 gram/ml
b. Ο Air = 0,998 gram/ml
c. V etanol = Fraksi volume etanol x 50 ml
d. Berat Etanol = Ο x V
e. V air = 50 – volume etanol
f. Berat Air = Ο x V
g. Fraksi berat etanol (XD)=berat etanolberat etanol+berat air
h. Fraksi berat etanol (YD)=XD.PsatetanolP
i. P 1 atm = 760 mmHg
Tabel A.4 Hasil Perhitungan Fraksi Berat Etanol dalam Percobaan
XF
V etanol
Berat Etanol
V air
Berat air
Fraksi Berat Etanol
XD
YD
0.2
14.705882
11.60294
35.294117
35.223529
0.247786
0.4612495
0.4
15.359477
12.11863
34.640523
34.571242
0.259556
0.4180828
0.6
25.163398
19.85392
24.836601
24.78693
0.444748
0.5726963
0.8
44.771242
35.32451
5.228758
5.2183006
0.871289
0.8891855
Xf
T (Celcius)
Psat air
Psat etanol
0.2
368
630.501
1,414.728
0.4
364
543.108
1,224.179
0.6
358
431.092
978.643
0.8
352
339.093
775.610
30
5. Fraksi Berat Etanol dalam Literatur
Tabel A.5 Fraksi Berat Etanol dalam Literatur
Sumber : Geankoplis Appedix A.3.23 Equilibrium Data For Ethanol Water System at 101,325 kPa (1 atm)
Untuk mencari fraksi berat etanol dalam cairan (x) dan dalam kondensat (y) menurut literatur untuk temperatur pada praktikum ini digunakan interpolasi, maka akan didapat :
Tabel A.6 Hasil Interpolasi Fraksi Berat Etanol Menurut Literatur
Temperatur (˚C)
X
Y
95
0.05294118
0.385823529
91
0.11777778
0.549933333
85
0.28846154
0.706423077
79
0.8125
0.86475
7. Konstanta Kesetimbangan K
Persamaan Konstanta Kesetimbangan (K) pada percobaan dan literature yaitu: K=yx
T (oC)
XD
YD
T (oC)
XD
YD
100
0
0
81
0,6
0,794
98,1
0,02
0,192
80,1
0,7
0,822
95,2
0,05
0,377
79,1
0,8
0,858
91,8
0,1
0,527
78,3
0,9
0,912
87,3
0,2
0,656
78,2
0,94
0,942
84,7
0,3
0,713
78,1
0,96
0,959
83,2
0,4
0,746
78,2
0,98
9,78
82
0,5
0,771
31
Tabel A.7 Hasil Perbandingan Nilai K Secara Percobaan dan Literatur
Temperatur (oC)
K
Percobaan
Literatur
95
1.861
7.287777778
91
1.611
4.669245283
85
1.288
2.448933333
79
1.021
1.064307692
32
LAMPIRAN B
Gambar B.1 Larutan Etanol-Air Konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80%
Gambar B.2 Rangkaian Alat Kesetimbangan Uap Cair
Gambar B.3 (a) Etanol 96% dan (b) Hand Refractometer