- Home>
- Akrilonitril , Chlorophrene , Isobutene , oleokimia , Styrene >
- Akrilonitril, Isobutene, Styrene dan Chlorophrene
Posted by : Maggie DL
Senin, 19 Juni 2017
MAKALAH PETRO DAN OLEOKIMIA
“Akrilonitril, Isobutene, Styrene dan Chlorophrene”
OLEH
:
KELOMPOK 2
FITRIANI (1407110030)
FUTHANUL WEWE (1407114583)
LENI TRIANI (1407112363)
MAGGIE DARLENE L (1407113363)
M. ADRIAN TANJUNG (1407114621)
TANTRI WILINDA J (1407120358)
TENGKU URAIANI (1407123109)
PROGRAM
STUDI TEKNIK KIMIA S1
FAKULTAS
TEKNIK
UNIVERSITAS
RIAU
PEKANBARU
2016
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah yang
berjudul “Acrylonitril,
Isobutene, Styrene dan Chlorophrene” ini dapat terselesaikan.
Pada kesempatan ini penyusun
mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Pengantar Industri
Petrokimia dan Oleokimia yang mana telah banyak
memberikan arahan sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik,
demikian juga kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini.
Penyusun menyadari dalam
menulis makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
perbaikan penulisan makalah ini.
Pekanbaru,13 Oktober 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... 2
DAFTAR ISI.................................................................................................... 3
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.......................................................................... 4
1.2. Tujuan....................................................................................... 4
BAB II. ISI
2.1. Acrylonitril,............................................................................... 5
2.2. Isobutene................................................................................... 18
2.3. Styrene....................................................................................... 24
2.4. Chlorophrene............................................................................ 29
BAB III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan................................................................................ 35
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 36
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Indonesia
adalah salah satu dari sedikit negara dengan keanekaragaman sumberdaya alam
yang melimpah sebagai bahan baku utama industri petrokimia berupa minyak bumi,
gas alam, batubara dan biomassa. Ketersediaan bahan baku tersebut dapat
mendorong perkembangan industri petrokimia yang merupakan penopang industri
nasional dalam upaya pemenuhan kebutuhan manusia terhadap pangan, sandang, papan
dan energy.
Petrokimia adalah
bahan-bahan atau produk-produk yang dihasilkan dario minyak dan gas bumi. Industri Petrokimia merupakan
industri yang membuat berbagai macam produk yang berasal dari minyak bumi.
Umumnya produk petrokimia berupa barang-barang atau bahan-bahan yang dalam
kehidupan kita sehari-hari banyak dipakai di rumah tangga seperti: plastik-
plastik untuk produk-produk elektronik, telekomunikasi, dan rumah tangga,
peralatan plastic untuk industri mobil dan pesawat terbang.
1.2
Tujuan
1.
Untuk dapat menambah pengetahuan tentang Akrilonitril, isobutene,
styrene, dan chloroprene
2.
Untuk dapat mengetahui
proses pembuatan metil ester
BAB II
ISI
2.1
Akrilonitril
Akrilonitril adalah sebuah senyawa
organik dengan rumus kimia CH2CHCN.Senyawa ini adalah
cairan tidak berwarna yang mudah menguap, meskipun sampel komersial dapat
menjadi kuning karena kotoran.Dari segi struktur
molekul, senyawa ini terdiri dari gugus vinil yang terikat
dengan sebuah nitril.Senyawa
ini adalah monomer penting
untuk pembuatan plastik seperti poliakrilonitril.Senyawa
ini reaktif dan beracun pada
dosis rendah.
Akrilonitril
dihasilkan oleh amoksidasi katalitik dari
propilena,
juga dikenal sebagai proses SOHIO. Pada tahun 2002, kapasitas produksi sedunia
diperkirakan mencapai 5 juta ton per tahun.Asetonitril dan hidrogen sianida
adalah produk samping yang diambil kembali untuk dijual.Dalam kenyataannya,
lumpuhnya permintaan asetonitril pada tahun 2008-2009 disebabkan oleh penurunan
permintaan akrilonitril.
Dalam proses SOHIO, propilena, amonia, dan air
(oksidator) yang melewati fluidized bed reactor yang berisi
katalis pada 400-510 °C dan bertekanan 50-200 kPag. Reaktan melewati reaktor
hanya sekali, sebelum dipadamkan dalam larutan asam sulfat.Kelebihan propilena,
karbon monoksida, karbon dioksida, dan dinitrogen yang tidak larut yang dibuang
langsung ke atmosfer atau dibakar.Larutan terdiri dari akrilonitril,
asetonitril, asam hidrosianat, dan amonium sulfat (dari kelebihan amonia).
Sebuah kolom recovery akan membuang sebagian besar air, akrilonitril dan
asetonitril dipisahkan dengan distilasi. Secara historis, salah satu katalis pertama
yang berhasil adalah bismuth fosfomolibdat sebagai
katalis heterogen.
2.1.1
Metoda
mula-mula dalam pembuatan Akrilonitril
1.
Penambahan hidrogen
sianida dengan etilen oksida yang membentuk sianohidrin, yang kemudian
didehidrasi menjadi Akrilonitril. Cara ini dikembangkan oleh IG Farber. Proses
ini diadopsi dari american cyanamid dan union carbide, dan kemudian
ditinggalkan pada tahun 1965.
2. Reaksi
antara hidrogen sianida dengan acetilen. Cara ini dikembangkan oleh bayer dan
digunakan oleh american cyanamid, du pont, monsanto hingga tahun 1970.
3. Produksi
lactonitril dari asetaldehid dan hidrogen sianida yang selanjutnya didehidrasi
menjadi acrylonitril. Cara ini dikembangkan dan diindustrialisasikan oleh
hoechst di gresheim (knapsack-greisheim) hingga tahun 1959 dan sebagian tetap
digunakan oleh perusahaan jepang nasarhino untuk pembuatan asamlaktat dengan
hidrolisis lactonitril.
4.
Ammoxidasi propiler
dengan nitrogen oksida yang dikomersialisasikan oleh du pont di beamont, texas
hingga tahun 1966
2.1.2
Pembuatan
Akrilonitril Dari Ammoxidasi Propilen
1. Prinsip
transformasi
Pembentukan Akrilonitril dengan
cara ammoxidasi propilen terjadi berdasarkan exotermis tinggi berikut ini :
CH2
= CH – CH3 + NH+ O ® = -515 kJ mol
Hal tersebut jelas memperlihatkan bahwa
hasil ini secara keseluruhan dapat dijelaskan dari produksi acrotein sebagai
produk intermediet utama. Dalam kondisi ini skema reaksinya sebagai berikut :
Transformasi ini juga
dikarakterisasi oleh pentingnya asumsi dari sisi degradasi reaksi propiler dan
turunan nitrogen dan oksigennya, yang menunjukkan secara simultan pembentukan
hidrogensianida, acetonitril, nitrogen, karbonmonoksida, dan karbondioksida
yaitu :
Karena
reaksi ini merupakan reaksi eksotermis yang tinggi, ditemukan bahwa total
exotermis pembuatan acrylonitril lebih tinggi daripada yang diindikasikan oleh
teori dari hal tersebut sama tingginya dengan 650 hingga 670 kJ/mol.
Gambar 2.1 Diagram alir
pembuatan akrilonitril dari ammoxidasi propilen
2. Katalis
Untuk mengimbangi hasil rendah
yang dihasilkan dari pengembangan sisi reaksi. Banyak formula-formula katalis
telah direkomendasikan, dan performa mereka telah meningkat hasilnya secara
tetap terhadap waktu. Mereka semua menggunakan pencampuran oksida berdasarkan
antimany, arsenik, bismut, cobalt, timah, besi, molibdenum, nikel, phosporus,
telurium, uranium, vanadium, dan lain-lain dengan atau tanpa ada pendukung.
Pengembangan
yang paling signifikan atau berarti dicapai oleh sohio, yang mula-mula
menggunakan bismuth phosphomolybdate. Sistem ini telah diulang kembali pada
tahun 1967 dengan pencampuran berdasarkan oksida antimony dan uranium (katalis
21). Pada tahun 1972, sohio kemudian mengembalikan menjadi bismuth
phospomolybdate (katalis 41) yang dibuat dengan penambahan cobalt, nickel, dan
potasium, dan mencapai perolehan produktifitas acrylonitril 10 menjadi 35 %.
Empat generasi katalis (katalis 49) akhirnya muncul pada tahun 1978, yang
memperoleh sedikit perbaikan dalam hasil, tetapi menawarkan sifat-sifat mekanis
yang lebih baik dari sebelumnya.
Kerjasama
antara distillers dan PAIK, diikuti oleh Border ChemicAIS, yang semula
berdasarkan pengembangan dua tahap proses. Dalam tahap pertama, propiler diubah
menjadi acroleir pada katalis menurut selenium dan tembaga oksida dan dalam
tahap kedua, amonia direaksikan dalam sistem termasuk MoO3 dan bermacam campuran
lainnya. Teknologi tahap tunggal kemudian dikembangkan, yang meliputi
penggunaan molybdenum oksida yang dinaikkan oleh soda abu, atau cobalt
molybdate dan telurium oksida dan juga diikuti dengan penggunaan sishim
antimony dan timah oksida. Hasil terbaik saat ini diperoleh dengan formulasi
menurut cobalt, besi, dan molybdenum.
3. Kondisi
operasi
Sebagai
aturan, ammoxidasi propilen terjadi dengan adanya kelebihan kecil amoniak dan
oksigen dalam perbandingan stokiometri. Kemurnian reaktan yang digunakan secara
umum sangat tinggi (lebih 90% berat untuk propilen dan 99,5 % untuk amoniak).
Dengan sistem katalis yang tertentu, khususnya perubahan sistem pertama, penambahan
uap panas (steam) meningkatkan selektifitas dan batasan konversi dari amoniak
menjadi nitrogen. Akan tetapi, kecenderungan saat ini, berhubungan dengan
perbaikan performa katalis dan kemajuan didalam metalurgi yaitu untuk
menghilangkan pengurangan air untuk memperoleh optimisasi neraca energi yang
lebih baik dari operasi. Pada table 11.12 terdapat sejumlah daftar tipe
komposisi umpan (molal) bergantung pada tipe katalis yang digunakan.
Pengalaman
memperlihatkan bahwa hasil acrylonitril meningkat dengan perbandingan propilen
dan amoniak. Dalam prakteknya, bagaimanapun pendekatan perbandingan stokiometri
mendekati ketepatan (rasio = 1) dan dalam kasus yang pasti, oprasi merupakan
suatu peristiwa yang terjadi pada nilai substokiometri yang mendekati 0,8. Hal
ini disebabkan reaksi secara normal kurang lengkap dan amoniak bersisa didalam
gas keluaran reactor. Ketidak bergantungan sisa mula-mula memberikan
peningkatan terhadap reaksi kimia. Hal ini dapat dihindari dengan menetralisasi
secara cepat sisa tersebut dengan menggunakan asam sulfur. Jadi, peningkatan
rasio propilen NH3 menghasilkan penghilangan material mentah yang
tidak berguna. Proyek penelitian yang sedang berlangsung dilaksanakan untuk
pengembangan performa katalis yang lebih baik dan pengembangan teknik untuk
memperoleh kembali amoniak yang mengizinkan merecycle propilen dan amoniak pada
saat selektifitas acrylonitril sedang bertahan tinggi.
Temperature
reaksi biasanya berada dalam range 400 hingga 500 0C dan sisa
tekanan dibawah 0,3 .106 Pa absolute. Rasio molar asetonitril
acrylonitril meningkat dengan cepat diatas suhu 400oC dan mencapai
puncak antara 470 sampai 480oC.
4.
Performa Katalis
Suatu
waktu melalui konversi propilen yang sebenarnya lengkap yang mana amoniak lebih
tinggi dalam fluidized bed (lebih 95%) dari pada didalam fixed bed yang
mendekati 85%. Akibatnya transformasi acrylonitril sangat sensitive terhadap
jenis katalis dan terhadap kondisi operasi khususnya waktu paruh yang harus
dijaga konstan diatas 1 sekon. Hasilnya kemungkinan sama tinggi dengan 72
hingga 75 % molar. Dengan system katalis terakhir yang sedang beroperasi
didalam fluidized bed dan mendekati 78 % molar dengan operasi yang sama dalam
fixed bed.
Table
11.13 menawarkan beberapa indikasi mengenai tipe komposisi gas-gas pembuangan
yang meninggalkan reactor amoxidasi propilen sesuai dengan teknologi yang
digunakan. Hal tersebut juga memperlihatkan proporsi yang tinggi dari produk
yang penggunaannya setelah pemisahan dan pemurnian yang dapat mempengaruhi
ekonomi operasi. Dengan demikian asetonitril yang dapat digunakan sebagai
pelarut ekstraksi butadiene biasanya dibakar. Kemungkinan lain untuk mengubah
acetonitril menjadi acrylonitril melalui reaksi berikut ini:
Reaksi
tersebut terjadi dengan adanya kehadiran potassium bromide berdasarkan katalis
yang digunakan. Hydrogen sianida disediakan untuk mensintesis asam methacrylik,
metionin, dan lain sebagainya. Dalam banyak kasus bagaimanapun, hydrogen
sianida juga dibakar untuk memperkecil resiko polusi dan kecelakaan.
5. Industri
Manufactur
Dengan
teknologi sohio, proses katalis fluidized bed memperlihatkan banyak metoda
industri yang tersebar luas.
Tabel 2.1 Macam-Macam Komposisi Molardari
Reactor Feed untuk Produksi
Akrilonitril
oleh Propylene Ammonidation
Katalis
|
Komponen
|
|||
Propilen
|
Ammonia
|
Air
|
Steam
|
|
Sohio
|
1
|
1,5
- 2
|
10
- 20
|
2
- 4
|
Sohio
|
1
|
1,05
- 1,2
|
10
- 15
|
-
|
Pcukdistillers
|
1
|
1,1
- 1,2
|
10
- 15
|
-
|
Tabel 2.2 Produksi Akrilonitril
oleh Propylene
Ammonidation. Macam-Macam Komposisi
Reactor Effluent (%vol)
Katalis
|
Fluidized bed
|
Fixed bed
|
||
Sohio 41
|
Nitto 13
|
Pcuk
|
Distillers
|
|
Effluent
composition
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Acrylonitril
|
5,2
|
5,3
|
4,3
|
-
|
Hydrogen
cyanide
|
1,8
|
1,1
|
1,0
|
-
|
Acetonytrile
|
0,7
|
0,1
|
0,3
|
-
|
Carbon
monoxide
|
1,0
|
0,8
|
0,5
|
-
|
Carbon
dioxide
|
1,6
|
2,9
|
1,2
|
-
|
Higher
nitriles
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Heavy
product
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Propane
|
0,8
|
0,8
|
0,6
|
-
|
Propylene
|
0,5
|
0,2
|
0,3
|
-
|
Water
|
26,3
|
25,2
|
33,6
|
-
|
Ammonia
|
0,2
|
1,0
|
1,1
|
-
|
Oxygen
|
2,2
|
1,8
|
4,0
|
-
|
Nitrogen
|
59,7
|
60,8
|
53,1
|
-
|
Total
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
-
|
2.1.3
Amoxidasi
Propilen Didalam Fluidized Bed (Proses Sohio)
Flowsheet
dari tipe pemasangan ini (gambar 11.19) terdiri dari operasi berikut ini :
1. Reaksi
Terjadi
didalam vessel khusus (gambar 11.20) pada bagian bawah yang mana campuran udara
dikompres menjadi 0,15 dan 0,3. 106 Pa absolute dan peningkat
kualitas amoniak dimasukkan, yang sebelumnya diuapkan dan dipanaskan antara 150
dan 200 oC dengan melalui head exchanger. Campuran umpan mula-mula
ini didistribusikan pada bagian bawah fluidized bed dan kemudian mencapai
katalis bed yaitu fluidizes. Kualitas kimia propilen harus besar dari 95 %
berat yang kemudian dimasukkan secara terpisah diatas distributor sebelumnya,
setelah umpan pertama diuapkan dan dipanaskan sekitar 200oC. Tinggi
dari fluidisasi yaitu 7-8 meter. Peralatan pipa-pipa pencelupan dengan boiler
internal air ditempatkan didalam katalis bed. Ini disediakan untuk membuang
kalor atau panas yang diubah oleh reaksi dan untuk mengendalikan suhu antara
420 dan 480 oC, ketika menghasilkan uap panas tekanan tinggi (diatas
3.106 Pa absolute) sedangkan cyclone separator dipasang pada bagian
atas dari reactor untuk menahan partikel-partikel katalis yang masuk kedalam
gas-gas pembuangan.
Gambar 2.2 Diagram dari reaktor sohio untuk produksi akrilonitril oleh
fluidized bed amoxidation dari propilen
2.
Pendinginan Produk
Untuk mencegah setiap reaksi didalam
gas-gas pembuangan, khususnya penambahan hydrogen sianida untuk acrylonitril
dan pembentukan polimer yang menyebabkan penurunan hasil gas-gas yang keluar
dari bagian atas reactor didinginkan secara cepat. Gas-gas mula-mula dikirimkan
menuju boiler quench untuk menghasilkan uap bertekanan rendah dan kemudian
langsung menuju menara pendingin yang temperaturnya sekitar 80 sampai 85 oC.
Kondisi operasi ini terjadi pada bagian bawah menara yang artinya kadar larutan asam sulfur atau asam ammonium sulfat
dibuat untuk menetralisasi amoniak. Air pembersih dalam bagian atas membuang
sisa-sisa asam. Perlakuan ini diseratai dengan produksi larutan ammonium sulfat
yang kemudian dikosongkan dari campuran organic yang terkandung didalamnya.
3.
Produk Recovery
Setelah penambahan pendinginan
antara 40 sampai 45oC dengan pertukaran panas yang tidak langsung,
gas-gas yang dinetralisasi dikirim menuju absorber yang sedang beroperasi
dengan air dingin (5oC) untuk memperoleh kembali hydrogen sianida,
asitonitril, dan acrylonitril yang maksimum serta komponen-komponen berat.
Sisa-sisa gas pembuangan yang tetap memiliki kandungan hidrokarbon dan nitril
yang sangat rendah dibakar. Karena asetonitril dan acrylonitril memiliki titik
didih yang sebanding (bp1,013= 81,6 dan 77,33 oC) dan
juga membentuk azeotrop dengan sifat-sifat yang sama dengan air. Pemisahannya
relative sulit karena membutuhkan sekitar 70 hingga 80 tray. Heteazeotrop
diperoleh pada bagian atas setelah penyelesaian, hasil fasa larutan cair
digunakan sebagai reflux dan hydrogen sianida serta asetonitril yang kaya fasa
organic dikirim menuju tahap pemurnian. Larutan cair asetonitril diperoleh
kembali pada bagian bawah yang mengandung lebih dari 97 % berat dari destilasi
azeotropik (60 tray) sedangkan sisa-sisa air digunakan sebagai cairan absorbsi
cairan setelah pendinginan menjadi 5oC.
4. Pemurnian
Acrylonitril
Operasi
ini terdiri dari beberapa distilasi untuk urutan berikut ini :
a) Pemisahan
hydrogen sianida (memerlukan 40 hingga 50 tray)
b)
Pembuangan zat-zat
impurities karbonilat (aseton, asetaldehid, propionaldehid, acrolein, dan
lain-lain yang memerlukan 50 sampai 60 tray).
c) Pemurnian
vakum acrylonitril (memerlukan 25 hingga 30 tray).
Adanya
sianohidrid yang berkemungkinan besar untuk menguraikan menjadi HCN dan
campuran-campuran karbonidrat dan untuk menurunkan kemurnian produk akhir.
Penguraian dan pemurnian tersebut diperlukan untuk mengaktifkan penstabil (asam
oxalic) penambahan untuk polimerisasi inhibitor.Sisa hydrogen sianida dipisahkan
pada bagian atas dan direcycle menuju kolom distilasi sebelumnya.
2.1.4
Ammoxidasi propilen
dalam fixed bed (PCUK/Distillers Process)
Gambar
2.3 Produksi Akrilonitril
oleh fixed bed amomoxidation dazri propilen (PCUK/DSistillers procces)
Flow
sheet (gambar 2.3)
pengoperasian pabrik dengan fixed bed memperlihatkan sifat-sifat utama sebagai
berikut:
1.
Reaksi
Terjadi pada umpan amoniak yang
dipanaskan pada temperatur 220oC. Sedangkan proporsi propilen dan
udara yang dikompres (0,3.106 Pa absolute) yang dikendalikan.
Pemanasan tersebut terjadi dalam reactor multitube (dimensi pipa katalis →
inside diameter 25 – 30 mm dengan dan tinggi 3 – 3,5 m). Pipa-pipa tersebut
digunakan dimaksudkan untuk membuang kalor-kalor yang dihasilkan dari reaksi kimia
dalam reactor yang kemudian didinginkan dan selanjutnya menghasilkan uap panas
bertekanan tinggi.
2.
Pendinginan
Gas-gas yang keluar dari reaktor
ammoxidasi dipanaskan pada suhu 380-400 oC . pertama didalam boiler
untuk menghasilkan tekanan uap rendah dan kemudian dengan berhubungan langsung
dengan menara operasi yang pada bagian bawahnya terdapat asam sulfur untuk
menetralisasi sisa-sisa amoniak dan air pada bagian atas. Pengambilan amonium
sulfat dapat dilakukan dengan menggunakan campuran –campuran organik yang
terdapat didalam gas-gas.
3.
Pemisahan
Perubahan perolehan kembali produk
juga hampir sama dengan proses sohio dengan pendinginan pada temperatur sekitar
40oC, kondensasi parsial, absorbsi nitril dan komponen-komponen
berat dengan air dingin (5oC) dan juga dengan pembakaran gas-gas
sisa.
4.
Pemurnian
Keistimewaan tahap ini adalah proses
yang mempunyai kemampuan untuk menghilangkan zat-zat impuritis dengan
menggunakan acrolein. Keuntungan dari pembentukan cianohidrin adalah adanya
hidrogen sianida. Operasi ini terjadi pada temperatur rendah (20oC)
didalam reaktor yang diagitasi, baik secara kontinu dengan menggunakan katalis
tembaga atau secara semi kontinu dengan menggunakan soda api (caustic soda)
yang diikuti dengan netralisasi. Cianohidrin yang diperoleh kemudian dibuang
dengan destilasi vakum. Pengambilan kembali cianohidrin dikirim menuju
evaporator untuk memperoleh kembali acrylonitril yang dimaksudkan. Perlakuan
ini harus dilakukan pada temperatur dibawah 55oC untuk mencegah
terjadinya kerusakan pada cianohidrin.
Distilasi yang digunakan dipakai untuk
memisahkan urutan berikut ini :
a)
Hidrogen sianida (40
hingga 45 tray)
b)
Asetonitril dalam 2
kolom destilasi yang operasinya didasarkan pada pemisahan heteroazeotrop antara
air dan sebaliknya. Acrylonitril pada bagian atas colom pertama (40 hingga 50
tray) dan sebaliknya. Acrylonitril pada bagian atas kolom kedua (60 hingga 65
tray) dan air yang diambil direcycle menuju kolom destilasi utama.
c)
Campuran-campuran
ringan dan air sisa pada tekanan atmosfir (50 sampai 60 tray)
d)
Campuran-campuran berat
dibawah vakum (25 – 30 tray) dengan destilat acrylonitril murni yang direcycle
menuju kolom pemisahan terakhir.
2.1.5
Metoda
Lain Dalam Pembuatan Akrilonitril
1.
Pembentukan Etilen
Cianohidrin
Reaksi
pembentukannya sebagai berikut
CH2 –
CH2 + HCN → CH2OH – CH2 – CN
CH2OH
– CH2 – CN → CH2 = CH – CN +H2O
Pembuatan
cianohidrin seperti yang diilustrasikan dalam sintesis acrylat. Kalau untuk
dehidrasi, reaksi ini dapat dilakukan dalam fasa cair pada temperatur sekitar
200 oC dengan menggunakan katalis magnesium format atau karbonat
yang larut dalam fasa uap antara 250 – 350 oC dengan hasil molal
lebih dari 90 %.
2. Penambahan
Sianida Dengan Asetilen
Reaksi esotermik yang tinggi yaitu
sebagai berikut
HC
= CH +HCN → CH2 = CH – CN ∆HO298
= -175 kJ/mol
Reaksi
ini telah dilakukan secara industri dalam fasa cair dengan menggunakan katalis
yang terdiri dari cuprow clorida dan ammonium clorida dalam larutan asam hidrokolik.
Besarnya sisa dari asetilen digunakan (6-15 mol/mgHCN) pada tekanan diatas 0,1
. 106 Pa absolut dan pada temperatur 80 sampai 90 oC.
Hasil molarnya diatas 90 % terhadap hidrogen sioanida dan 75 – 80 % terhadap
asetilen. Yang utama dari produk adalah asetaldehid, vinylacetile,
divinyasetilen, vinylclorida, cyanobutana, laktonitril, metil vinil keton dan
sebagainya.
Reaksi
yang sama juga dapat dilakukan dalam fase uap (goodrich) sekitar temperatur 500
– 600 oC.
3.
Melalui Pembentukan
Laktonitril
Bahan mentah yang digunakan adalah
asetaldehid yang dirubah/dikonversi menajdi acrylonitril dalam dua tahap yaitu
:
Dalam tahap pertama laktonitril
dibentuk dengan penambahan hidrogen sianida terhadap asetaldehid.
CH3
– CHO + HCN → CH3 – CHON – CN
Reaksi
ini yang mana exotermiknya tinggi dan sangat cepat, terjadi antara 10 dan 20 oC
dan pada pH antara 7 – 7,5 dengan hasil molar 97 – 98 %.
5.
Dalam tahap kedua, laktonitril didehidrasi menjadi acrylonitril, reaksinya
sebagai berikut
CH3
– CHOH – CN → CH2 = CH – CN +H2O
Untuk
mencegah redekomposisi menjadi asetaldehid dan hidrogen sianida, reaksi
tersebut dilakukan dengan kelebihan asam prophane yang besar dengan
penyemprotan pada temperatur 600 – 700 oC didalam reaktor yang mana
laktonitril dikontakkan dengan gas inert bebas dan oksigen selama lebih dari 3
detik. Jumlah total hasil molar sekitar 90% terhadap asetaldehid dan 92%
terhadap hidrogen sianida.
4.
Nitrat Oksida dengan
Propilen
Meliputi konversi berikut ini :
4CH2 = CH – CH3 + 6NO →
4CH2 = CH - CN + 6H2O + N2
Reaksi
diatas dilakukan pada tekanan atmosfer dan pada temperatur antara 480 – 550 oC
dengan menggunakan katalis peroksida yang diletakkan pada silika atau besi
oksida, kalium, dan dengan propilen berlebih. Gas-gas inert (nitrogen, steam,
dll) digunakan sebagai pencair-pencair untuk mengabsorbsi panas yang dihasilkan
selama konversi atau perubahan yang mana hasil molarnya adalah 70 % terhadap
propilene.
2.1.6
Proses
Pengembangan
Proses
ini dibuat untuk mengubah hidrokarbon secara langsung, terutama etilen dan
propilen dengan metode-metode utama berikut ini :
1.
Reaksi HCN pada
temperatur tinggi (antara 760 hingga 1000oC) dengan menggunakan
katalis untuk mencapai dehidrogenasi sebelumnya.
2.
Reaksi HCN dengan
adanya oksigen
Asahi
dan Du Pont telah mengembangkan proses untuk konversi etilen fasa uap pada
temperatur antara 330 dan 360oC pada katalis nikel atau paladium
yang ditempatkan pada alumina (kadar asam kemungkinan dari penambahan asam
hidrokolik) dan diselesaikan oleh untsur seperti vanadium dan cesium.
CH2
= CH2 + HCN + 12O2 → CH3 = CH – CN + H2O
Hasil
molar yang didapat lebih dari 90 %.
3.
Ammoxidasi Parafin
Monsanto
dan Power Gas ICI telah mengusulkan proses yang menggunakan propana sebagai
pengganti propilen, reaksinya sebagai berikut :
CH3
– CH2 – CH3 + NH3 + 2O2 → CH2
= CH – CN + 4 H2O
Dua
perubahan teresbut melakukan amosidah parafin ini pada suhu sekitar 480 sampai
520 oC dengan menggunakan katalis antimony, tungsten, uranium dan
vanadium.
2.2
Isobutene
Isobutena pada bidang elastomer, sebagian besar digunakan untuk membuat karet khusus, karet
butyl oleh kopolimerisasi dengan isoprena dalam jumlah yang kecil. Hal ini
sangat penting untuk pembuatan bagian dalam tabung, tetapi sisa produksinya
rendah dan meliputi hampir tidak 10 persen dari SBR (Stirene butadiene Rubber).
Isobutena juga digunakan untuk memproduksi bahan aditif untuk oli-oli
(polyisobutena), detergen (di- and triisobutylenes) dan pada saat sekarang ini
untuk pembuatan MTBE.
Isobutene
didapat dari :
a.
Ekstraksi
pemotongan C4 dari pemecahan uap atau pemecahan
katalitik
b.
Teknik
Reaksi dehidrogenasi isobutana yang serupa dengan propilena atau n-butena di
dalam kondisi operasi yang tersubstansi serupa, pengembangan produk tertentu
oleh Air product (Proses houdry catofin), phillips (proses star) dan UOP (
proses oleflex)
Di dalam hal ini, penambahan persediaan isobutene bisa
diperoleh dari isomerisasi n-butana,dimana operasinya menggunakan dua varian,
satu diantaranya mencakup pendaur ulangan dari n-butana yang tidak dikonversi
setelah proses pemisahan.lazimnya,isomerisasi belangsung pada fasa gas sekitar
150-200oC, dibawah tekanan hidrogen sekitar 1,5 sampai 2,5 x 106
Pa absolut. Adanya katalis pada pembentukan ulang, didasarkan platinum
(0,35 persen berat) yang disimpan pada
alumina oleh klorida organik.
Salah satunya dengan mengkonversinya dari 40 menjadi 50 persen dan dengan
selektivitas molar adalah 95 sampai 100 persen, untuk LHSV 3 hingga 5 h-1,
masa aktif katalis selama 3 tahun dan perbandingan molar hidrogen 0,1 sampai
0,5. Proses komersial yang utama dari ini adalah pengembangannya yang dilakukan
oleh BP (British petroleum), IFP (Institut Francais du Petrole), Union Oil
(butomerate),UOP (Butamer),etc.
Dengan
proses shell, pada fasa cair,operasinya akan mengeluarkan AlCl3 (3
sampai 10 persen berat) dari dalam SbCl3 dan asam hidrokloric (5
persen berat dari umpan) pada 2.106 Pa absolute, dan antara 65
sampai 100oC.salah satunya dengan mengkonversinya diatas 60 persen.
2.2.1 Ekstraksi
Pemotongan C4
Di dalam industri untuk isobutene dapat dipisah dengan
memakai dua metoda, yaitu hidrasi dan eterifikasi.
1.
Hydrasi
Reaksi :Eksotermik
Katalis: Asam Sulfur
Bahan baku: C4 (n-butana
dan 38.5% isobutene)
Hasil samping : Butana
Kondisi operasi: Tekanan : 0.4 – 0.5 x 106
Pa abs
Suhu : 120 oC
Yield: 98 – 99.8%
2. Eterifikasi
Reaksi :Eksotermik
Katalis: Asam Cuka
Bahan baku: MTBE
Hasil samping : Dimethil
eter
Kondisi operasi: Tekanan : 0,6
106 Pa abs
Suhu : 150-300
oC( terutama 275 oC
)
Yield: 99,9 %
Gambar 2.4 Cracking isobutene
Pada bab ini hanya akan membahas lebih lanjut
mengenai hidrasi isobutene.
Hidrasi
Proses hidrasi dari pemotongan C4
untuk memperoleh isobutene menggunakan t-butanol dengan H2O
mengikuti reaksi ekotermik pada medium asam.
Proses ini berdasarkan stabilitas yang paling besar dari
ion karbon tersier yang dibandingkan dengan ion pertama dan kedua, mengikuti
konversi pemilihan ari isonutene pada campuran di pemotongan C4.Proses
juga dikembangkan menggunakan 40 sampai 50 % berat pelarut dan beroperasi pada
temperatur rendah (CFR,BASF, dll) dengan yield antara 90 dan 95 % dan kemurnian
diatas 99%. Pada kenyataan ditunjukkan proses terjadi 30oC, dan
dengan 45 % berat asam sulfur, hidrasi isobutene 1500 kali lebih cepat dari
n-butene dan 300 kali lebih cepat dari 1,3-butadiena.Sebagai contoh di indusri,
kita memakai proses CFR. Teknik ini mempunyai tiga langkah, yaitu :
a.
Absopsi
: di proses ini menggunakan tiga absorber/settler carbon-steel. Umpan masuk
mengalirpada aliran berlawanan dengan 50% berat asam sulfur. Pada temperatur 50oC
dan 0,4 sampai 0,5x106 Pa. Sirkulasi eksternal medium reaksi
menggunakan agitasi dan pendingin. Fasa hidrokarbon (raffinat) dibusakan dengan
kaustik dicampur dengan air dan kemudian dikirim ke batas battery.
b.
Regenerasi
: fasa aqeuous (eksrak) peratama diflashkan
dibaeah hampa udara di stage pembakaran untuk mencabut hidrokarbon. Fasa ini
dalam bentuk bagian sulfat dihidrolisa menjadi t-butyl alkohol. Kemudian,
dikirim untuk kolom regenerasi carbon-steel, yang mana terbentuk 3 bentuk,
dilusi asam, regenerasi isobutene, dan konsentrasi asam yang dioperasikan pada
temperatur sekitar 120oC.
c.
Purifikasi
: gas effluent dari regenerator mengandung isobutene, tidak dikonversi dengan
akohol, polymer dan air. Isobutene ini dibusakan dengan kaustik untuk
mengembunkan polymer dan bagian t-butanol. Sisa alkohol dan isobutene direcover dengan didinginkan dan
dipissahkan dengan distilasi. T-butil
polimer bebasdidistilasi di dalam bentuk pada keadaan azeotrop dengan
air dan direcycle ke regenerasi. Di
proses ini, 87 sampai 93 % dari umpan isobutene direcover di kemurnian 99 samapai 99,8 % dan 5% di polimerisasi
denagn produk digunakan dalam gasolin.
Gambar 2.5 Pemisahan hidrasi isobutene
dengan CFR proses.
Dehydrogenasi Isobutane
Reaksi :Endodermis
Katalis: Alumina dan
Platinum
Bahan baku: Isobutane
Hasil samping : isobutene
Kondisi operasi: Suhu : 150-200 oC
Tekanan : 1,5 – 2,5 106 Pa abs
Yield: 80%
Tabel 2.3 Perbandingan Kondisi Proses Pembentukan styrene
Isomerisasi
|
Dehydrogenasi
|
||
hydrasi
|
etherifikasi
|
||
Reaksi
|
Eksotermik
|
Eksotermik
|
Endodermis
|
Katalis
|
Asam
Sulfur
|
Cuka
|
Alumina
dan Platinum
|
Bahan
baku
|
C4 (n-butana
dan 38.5% isobutene)
|
MTBE
|
Isobutane
|
Hasil
samping
|
Butanes
|
Isobutane
dan MTBE
|
isobutene
|
Kondisi
operasi
|
Tekanan : 0.4
– 0.5 x 106 Pa abs
Suhu : 120 oC
|
Tekanan : 0,6 106 Pa abs
Suhu : 150-300 oC (
terutama 275 oC )
|
Temperatur:
150-200 oC Tekanan : 1,5 – 2,5 106 Pa abs
|
Yield
|
98 –
99.8%
|
99,9 %
|
80%
|
Turunan Isobutene
·
Methyl
tert-Butyl Ether
Methyl tert-Butyl Ether dibuat hampir sama dari isobutene
yang diisolasikan bereaksi dengan metanol dengan bantuan katalis asam, biasanya
ion asam diganti resin.
·
Butyl
Rubber
Butyl Rubber adalah sebuah copolymer dari isobutene
dengan 2 - 5% isoprene. Butyl rubber digunakan untuk ban dalam untuk ban tubeless karena impermeabilitas di
udara.
·
tert-Butanol
tert-Butanol merupakan isobuten yang dihidratkan dengan
bantuan sebuah katalis asam seperti 60 % asam sulfur pada temperatur rendah
diantara 10-30oC. tert-Butanol dapat digunakan untuk octane improver dan menjadi bahan
pembuat MTBE.
·
Methallyl
chloride
Methallyl chloride merupakan hasil dari proses
klorinisasi dari isobuten. Kondisi
proses nya pada temperatur antara
400-500oC. Reaksi dari proses ini :
·
Triisobutylaluminum
Triisobutylaluminum merupakan hasil dari reaksi isobuten
dengan penambahan aluminium dan gas hidrogen. Hasil samping dari proses ini
ialah diisobtylaminum hydrida. Reaksinya sebagai berikut.
2.3
Styrene
Styrene (C6H5C2H5)
adalah salah satu senyawa kimia yang mempunyai kegunaan yang sangat besar
terutama dalam industri plastik, sebagai zat antara untuk pembuatan senyawa
kimia lainnya, dan sebagai monomer yang digunakan untuk membuat karet sintesis.
Styren diproduksi dengan cara dehydrogenasi ethylbenzene.
Dari tahun ketahun
kebutuhan styrene di Indonesia makin meningkat, hal ini terlihat dengan
meningkatnya impor styrene di Indonesia. Diperkirakan kebutuhan tersebut akan meningkat pada tahun-tahun mendatang
dengan makin berkembangnya industri pengolahan styrene.
Proses yang
akan dibahas dalam makalah ini adalah proses
Dehidrogenasi etilbenzene.
Bahan
Baku yaitu : Ethylene (C2H4), Benzene (C6H6), Etil Klorida (C2H5Cl),
Alumunium Klorida (AlCl3). Produk yaitu : Styrene (C8H8), Etil Benzene (C8H10), Toluene (C7H8 atau C6H5CH3), Methane
(CH4), Hidrogen (H2), Di-etil Benzene (C6H4
. C2H5).
2.3.1
Reaksi Pembentukan Styrene
Reaksi ini Terdiri atas reaksi utama dan reaksi
samping.
Reaksi Utama :
·
|
|
Benzene Etilen Etil
benzene
·
|
C6H5C2H5 + C6H5C2H3 + H2 ∆H
= + 28.1 Kcal
Etil benzene Styrene Hidrogen
Reaksi Samping :
Reaksi samping
dari alkilasi benzene (asumsi polietil benzene yang dihasilkan adalah dietil
benzene)
C6H6 + 2CH2 =
CH2 Ã C6H4[CH2CH3]2
Di-etil benzene (poli-etil benzene)
Reaksi samping Dehidrogenasi Etil Benzene :
C6H5C2H5 + H2 Ã C6H5CH3 + CH4
Etilbenzene Toluene Metane
C6H5C2H5 Ã C6H6 + CH2
= CH2
Etil Benzene Benzene Etilen
(C6H5C2H5)n à (C6H5C2H3)n + nH2
Polimerisasi
2.3.2
Uraian
Proses
Pada proses pembuatan
styrene, terjadi dua tahap proses yaitu proses alkilasi dan proses
dehidrogenasi dimana pada proses alkilasi bertujuan untuk menghasilkan ethyl
benzene sedangkan pada proses dehidrogenasi bertujuan untuk menghasilkan styren.
Feed
berupa benzene basah dialirkan ke pengering azeotropic untuk dikeringkan.
Benzene yang telah kering ini kemudian masuk ke alkilator bersama dengan
aluminium klorida. Pada alkilator ditambahkan pula reaktan berupa etilen yang
ditambahkan etil klorida, etil klorida disini berfungsi sebagai sumber hidrogen
dan klorin sebagai radikal bebas untuk katalis. Produk dari proses alkilasi ini
adalah etil benzene dan polialkil benzene yang didominasi oleh di-etil benzene.
Produk
alkilasi beserta reaktan yang tidak bereaksi masuk ke separator sedangkan etil
klorida akan keluar melalui bagian atas
tangki kemudian keluar sebagai gas melalui vent. Di dalam separator terjadi
pemisahan untuk aluminium klorida. Aluminium
klorida yang keluar dari separator dikembalikan lagi ke reaktor alkilator
sedangkan produk dan reaktan yang tersisa dialirkan kembali ke dealkilator. Di
dalam kolom ini terjadi pemisahan dengan temperatur tinggi untuk memisahakan
di-etil benzene. Ethyl benzene mentah, benzene, dan etilen yang keluar sebagai
produk atas kolom dealkilator dipompakan menuju settling tank untuk menetralkan
etil benzene dan memisahkan benzen basah dari ethyl benzene dengan cara mencucinya dengan 50% NaOH serta utntuk
menghilangkan poliethyl benzene yang masih tersisa.
Gambar 2.6 Diagram alir
Pembuatan styrene dengan dehidrogenasi etilbenezene
Hasil pencucian dari settling tank dialirkan ke stripper
guna menghilangkan polyethyl benzene. Polietil benzene yang keluar dari
stripper dialirkan ke polyalkil still untuk dimurnikan. Kemudian Ethyl benzene
dan benzene yang merupakan produk atas striper didistilasi di benzene column.
Polietil benzene yang telah dimurnikan di polyalkil still dikembalikan ke kolom
dealkilator. Benzene basah yang keluar sebagai top produk benzene column
dikembalikan sebagai feed di azeotropic dryer sedangkan etil benzene mentah
dialirkan ke etilbenzene column. Ethylbenzene lalu di cuci dengan kaustik soda
20%, kemudian di lakukan pengeringan dalam sebuah caustic bed dengan bantuan flake NaOH.
Tahap selanjutnya yaitu dehidrogenasi ethyl benzen.
Dehydrogenasi ethylbenzen adalah tahap untuk memproduksi styrene. Steam dari
superheater digunakan untuk memanaskan etilbenzene kering yang akan masuk ke
bagian catalic dehydrator. Hal ini dilakukan agar dapat mencapai kondisi
operasi reaktor yaitu 800 oC. Katalis pada proses Dehydrogenasi
berupa SnO atau FeO.
Dalam proses,etilbenzene yang telah dipisahkan dalam
kolom destilasi akan dikembalikan lagi ke catalytic dehydrator, maka
kemungkinan gas H2 akan berekasi dengan etilbenzene dan menghasilkan
toluene dan metane. Proses ini juga memungkinkan terjadi penguraian etil
benzene sehingga terdapat benzene dan etilen sebagai produk catalytic
dehydrator. Kemudian produk – produk tersebut mengalami pemansan awal dalam
quench tower dengan bantuan steam. Gas H2 serta etilen dan metane
yang merupakan fase ringan dikeluarkan dari vent quench tower. Sulfur
stabilizer di tambahkan pada keadaan ini dan campuran hidrokarbon dilewatkan ke
sejumlah destilasi vacuum untuk memisahkan impuritisnya pada temperatur rendah
untuk mencegah terjadinya polymerisasi styrene. Benzene dan toluene dipisahkan
pada tekanan 160 mm dan temperature 90 oC dalam benzene column.
Kolom kedua yaitu etil benzene column dioperasikan pada tekanan 35 mm dan
temperature 90oC untuk memisahkan styrene dari ethyl benzene. Etil
benzene tersebut kemudian dikambalikan ke catalytic dehydrator. Destilasi vakum
terakhir pada finishing column untuk menghilangkan tar dan sulfur. Hasil akhir
didapatkan styrene pada top produk finishing column dan didinginkan pada
temperature 10 oC sedangkan tar disimpan dalam storage atau
dimurnikan kembali dalam batch tar stil dan dikeluarkan sebagai bottom produk.
1.
Azeotropic
Dryer
Untuk mengurangi kadar air
yang ada di dalam benzene atau untuk mengeringkan benzene yang bercampur dengan
air
2.
Settling tank
Tempat
pencucian produk dari alkilator dengan soda kaustik.
3.
Stripper
Menghilangkan
polyethyl benzene dan memisahkan benzene basah dari ethylbenzene.
2.
Benzene column
Untuk
memisahkan benzene dari etilbenzene.
a.
Alkylator
Sebagai
tempat terjadinya proses alkylasi antara benzene kering dengan etilena dan
dibantu oleh etil klorida serta aluminium klorida.
b.
Etyl benzene Coloum
Sebagai
tempat pemisahan etil benzene dari polietil benzene.
c.
Polyalkyl
still
Memurnikan produk
polialkil yaitu dietil benzene.
d.
Dryer
Tempat mengeringkan
etilbenzene.
e.
Catalytic
Dehydrogenasi
Sebagai
tempat berlangsungnya reaksi dehidrogenasi etil benzene dengan bantuan katalis
SnO atau Fe
f.
Quench
Tower
Tempat
pemanasan awal produk catalytic dehydrator dengan bantuan steam.
g.
Finishing
Coloum
Sebagai
tempat pemisahan terakhir antara stirena dan produk hidrokarbon lainnya.
h.
Batch tar Still
Tempat
pemurnian tar.
2.3.3
Kegunaan Styrene
Styrene memiliki
beberapa kegunaan, yaitu :
a. Sebagai
bahan polimerik resin.
b. Senyawa
kimia yang mempunyai kegunaaan yang sangat besar dalam pembutan berbagai macam
plastic yang sangat di gunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari
c.
Sebagai
bahan pembentuk karet sintetis.
2.4
Chlorophrene
Chloroprene
atau 2-chloro-1,3-butadiena merupakan monomer dari polycloroprene yang sering
dikenal dengan sebutan Neoprene. Polymer ini di produksi sejak tahun 1930
dengan metode Du Pont de Nemours yang
ditemukan oleh Carothers dan Collins selama mereka bekerja dalam pembuatan
vinylacetylene. Metode ini melibatkan acetylene sebagai bahan mentah, lalu pada
tahun 1936 ditemukan metode Distugil yang melibatkan butadiene sebagai bahan
mentah. Chloroprene memiliki sifat –
sifat sbb :
1. Anti
korosi
2. Tidak
dapat menyala
3. Adesif
2.4.1
Produksi Chloroprene
1.
Produksi Chloroprene dari Acetylen
a.
Dimerisasi Acetylene
menjadi Monovinylacetylen.
Reaksi
yang terjadi pada tahap ini adalah :
Suhu
reaksi antara 50oC - 100oC (suhu optimal antara 65 oC
- 70oC), pada tekanan absolut 0.1 - 0.4x106 Pa, gas
acetylen kering (99% volume) dimasukan pada pelarut non air yang mengandung
katalis (Cuprous chloride). Medium
reaksi dibuat dari campuran pelarut, terutama untuk pembentukan dua fasa yaitu
fasa berat mengandung senyawa amina (Dimethylamine atau Methylamine
Hydrochloride) dan Dimethylformamide, keduanya mampu melarutkan cuprous
chloride. Fasa ringannya umumnya mengandung
senyawa Hidrokarbon (heksane) yang
dibiarkan pada produk reaksi hasil ekstraksi, untuk pencegahan pembentukan
Divinylacetylene atau ter. Dalam kondisi ini, selektivitas operasi mendekati
100 % untuk konversi melebihi 50%.
b. Penambahan
asam hidrokloric pada monovinylacetylene :
Pada
tahap kedua ini gas Vinylacetylene di masukkan kedalam campuran yang mengandung
(% berat) air 70.5%, asam hidrocloric 19.5 % dan cuprous chloride 10% pada suhu sekitar 50 oC dan tekanan
absolute 2 x 105. Selektivitas
mendekati 90% mol untuk konversi 15% monovinylacetylene.
Produk utamanya adalah Dichlorobutenes, Methilvinylketone dan lain – lain.
2.
Produksi
Chloroprene dari Butadiene
Proses
ini berlangsung pada tiga tahap berurutan sebagai berikut:
a. Chlorinasi
Butadiene
Hasil dari proses
ini adalah dua isomer dichlorinat, yaitu 1,4-dichloro 2-butena dan 3,4-dichloro
1-butena. Reaksi yang terjadi dapat dilihat pada gambar.
|
b. Isomerisasi
1,4-dichloro 2-butena.
|
c. Dehydrochlorinasi
3,4-dichloro 1- butene pada soda kaustik.
|
2.4.2
Kondisi
Operasi
1.
Chlorinasi
Tahap
ini dapat dilakukan dalam fasa cair tetapi di industri biasanya dilakukan dalam fasa gas dengan kondisi pada suhu
antara 250 - 3500C (optimum sekitar 3000C) dengan tekanan
atmosfir untuk memperoleh beberapa produk dan lebih tinggi yield nya. Reaksi
berlangsung dengan butadiene yang akses besar ( 3 - 6 per 1 mol chlorine ).
Produk dari reaksi berupa fasa ringan (1-chloro dan 2-chloro butadiene) dan
fasa berat (trichlorobutene, tetreachlorobutene, telomere, tar). Selektivitas
dengan respek pada butadiene yang akses 90% molar, untuk tiap konversi
mendekati 15% dan kecepatan 1000 h-1.
- Isomerisasi
Kondisi
ini berlangsung pada fasa cair pada temperatur 1000C dan tekanan 0.1
. 100Pa absolute dengan komposisi ( % molar ) 21 % 3,4-dichloro
1-butene , 7% cis-1,4-dichloro 2-butene dan 72% trans -1,4-dichloro 2-butene.
Ketiga komponen ini berbeda titik didihnya yaitu berturut – turut 123, 154, dan
1580C sehingga dalam kesetimbangan uap dengan cairnya jauh lebih
kaya 3.4-dichloro 1-butene (52 %) , yang merupakan awal pempentukan chloroprene.
Operasi
dapat dipercepat dengan melibatkan katalis (cuprous chloride) dalam larutan pada pelarut organic ( seperti α-picoline),
dan dengan peningkatan temperature diatas 1600C, sehingga sejumlah
besar produk dibentuk: 1-chlorobutadien, asam hidroklorik, dan khususnya
polymer. Begitu juga untuk pencegahan terjadinya reaksi samping lebih baik
mempertahankan level termal rendah, 105-1250C dan penguapan dibawah
tekanan vakum ( kira – kira 20 kPa absolute ) , di dalam itu juga ada sebuah
inhibitor dimasukan untuk mencegah polymerisasi dari pengembang
(phenothiazine). Untuk konversi 1,4-dichloro 2-butene sekitar 80 % selektivitas
molar 3,4-ispmer akses 75%.
- Dehidrochlorinasi
3,4-dichloro
1-butenea biasanya dehidrochlorinasi dengan pemanasan sederhana dalam fasa
cair, pada suhu sekitar 800C – 1100C dan tekanan
atmosfir. Dalam sebuah larutan yang mengandung air untuk melemahkan caustic
soda (5 – 15%) dan sebuah inhibitor (seperti asam picric). Kefektifan agitasi
secara mekanik perlu pada keseluruhan campuran yang mengandung air (caustic)
dan fasa organic (dichlorobutene).
Produk utama
adalah 1-chlorobuatadiene, diproduksi dari residu dichloro 2-butene atau
terbentuk selama reaksi, polymer, sodium chloride dan monochloro butene
(1-chloro 1-butene, 2-chloro 1-butene dll). Untuk mengontrol polimerisasi yang
tidak di inginkan, reaksi berlangsung pada kondisi bebas oksigen dengan suhu
rendah dan inhibitor. Efektifitas bertambah dengan penambahan pelarut seperti
methanol dan etanol atau katalis. Penambahan kaustik soda sebanyak 30% atau
katalis basa lainnya sangat diperlukan seperti ammoniak. Tanpa adanya katalis,
waktu yang diperlukan sekitar 3 hingga 5 jam dengan selektivitas besar dari 95%
molar untuk tiap konversi mendekati 95%.
2.4.3
Proses
1.
Chlorinasi
Butadiene
mula – mula diuapkan dan dikeringkan pada ayakan molecular. Umpan kering yang tidak terkonversi menjadi gas
direcycle, suhunya dinaikkan hingga 1500C lalu dicampurkan dengan
chlorine. Campuran ini lalu dimasukkan ke dalam reactor Chlorinasi. Produk
dialirkan keluar pada temperature 3400 C, lalu didinginkan hingga suhu 1050C dan
distabilkan dengan destilasi pada tekanan atmosferik (50C , 12x104
Pa). Gas murni yang dibentuk diberi tekanan ulang sebesar 2x105 Pa
menggunakan blower dan sebagian besar di recycle ke reactor clorinasi. Sisanya
dijadikan sebagai pembersih, di kirimkan melalui sebuah adsorber. Operasi itu
terus – menerus dilakukan lalu dichlorobutene didinginkan sampai -500C dan lalu dimurnikan,
kembali dimasukkan pada kolom stabilizing. Asam hidroklorik tinggal di puncak
adsorber yang mungkin dikonsentrasikan atau dinetralkan setelah penyerapan
dalam air. Aliran bawah dari stabilisasi di fraksionasi kedalam vakum (20 kPa, 950C) untuk
memisahkan sebagian besar
dichlorobutene yang di produksi dalam destilat, sisanya dibawah mengandung
komponen berat dalam larutan. Larutan ini dikirim ke sebuah falling film
evaporator untuk memurnikan residu dichlorobutene yang di recycle ke
fraksionasi sebelumnya.
2.
Isomerisasi
Tahap
kedua yaitu isomerisasi dari 1.4-dichloro 2-butene dalam sebuah ecxanger/reactor dari jenis boiler,
rekaan dengan operasi kolom destilasi di bawah vakum (20 kPa, 750C
pada puncak) dan lalu di murnikan didalam destilat. Cuprous chloride dalam
larutan α-picoline pertama ditambahkan pada umpan dichlorobutene dari
chlorinasi dan suhu campuran dinaikkan mendekati 1150C dalam boiler
dengan steam tekanan rendah, sidestream dimasukkan kedalam falling film
evaporator pada tahap sebelumnya, untuk pencegahan akumulasi produk berat dan
pencemaran peralatan dan memurnikan dichlorobutene yang dihasilkan. Destilasi
itu berlangsung dengan adanya phenothiazine dipompakan pada level condenser.
Destilat dengan 3.4-dichloro 1-butene direcycle dari tahap separasi merupakan
dehydrochlorinasi dalam sebuah seri reactor agitasi yang dioperasikan pada 900C
dan dibawah tekanan rendah (5x105 Pa) untuk menjaga sebagian medium
dalam fasa cair, jumlahnya 10% larutan caustic, dengan preheated 650C
dan asam picric digunakan sebagai penghambat (inhibitor) polymerisasi.
3.
Dehydrochlorinasi
Pembagian
produk dan pemurnian merupakan bagian proses penanganan akhir yang berlangsung
pada fasa aliran uap, sebelumnya didinginkan dan diberikan tekanan sekitar 40
sampai 500C dari reactor dehydrochlorinasi akhir. Perlakuan pertama
melibatkan pengendapan fasa cairan yang dibutuhkan dan pemindahan membentuk
fasa larutan yang mengandung air. Fraksi organik dipisahkan dengan steam
melalui sebuah packing yang didesain untuk membagi (separate) chloroprene pada
bagian puncak.
3,4-dichloro
1-butene yang tidak terkonversi tinggal pada bagian bawah dipisahkan dari air
dengan pengendapan dan pengeringan, lalu dimurnikan dari komponen berat dengan
penguapan didalam sebuah kolom, yang berada pada bagian bawah. Sekali lagi
diendapkan dan dikeringkan lalu di recycle ke dehydrochlorinasi. Setelah
pendinginan air/chloroprene heteroazeotrope ditinggalkan pada bagian puncak
untuk pembentukan dua fasa, fraksi yang lebih rendah dipindahkan sebagai sebuah
pengaliran kembali (reflux). Aliran ini
dikirimkan pada kolom pemurnian akhir (tekanan atmosferik, suhu -600C
pada puncak), operasi melibatkan sebuah inhibitor polymerisasi (phenothiazine
nitrosodiphenylamin) yang dipompakan pada level condenser. Kandunagn
1-chlorobutadiena dipindahkan dalam sebuah withdrawal
yang berisi chloropriene murni, dipisahkan dalam destilasi, dikeringkan dan
disimpan dibawah atmosfer nitrogen, pada suhu kurang dari 00C
menggunakan pendingin.
2.4.4
Metode
Lain dalam Memproduksi Chloroprene
Metode
lain yang dapat digunakan untuk pembuatan cloroprene adalah:
- Metode Distiller dengan bahan butena (biasanya 2-butena) dicampurkan dengan butadiene lalu dichlorinasi menjadi chlorobutena dan chlorobutana yang selanjutnya dapat dikonversikan menjadi chloroprene
- Metode Monsanto, Shell, ICI dengan menggantikan chlorine dengan asam hidroklorik dan oxychlorinasi butadiene pada temperature sekitar 260 sampai 2900C dan tekanan atmosferik, didalam cupric chloride yang disimpan dalam sebuah support yang didasarkan pada alumina dan batu apung dan operasi didalam sebuah fluidized bed.
Gambar 2.7 Pembuatan
Chloroprene dari butadiene
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1. Proses
pembuatan acrylonitril secara garis besar yaitu dengan cara ammoxidasi
propilene yang terbagi atas
v Proses
sohio yaitu ammoxidasi propilen dalam fluidized bed.
v Proses
PCUK / Distiller yaitu ammoxidasi propoilen didalam fixed bed.
2.
Isobutena
pada bidang elastomer, sebagian besar
digunakan untuk membuat karet khusus, karet butyl oleh kopolimerisasi
dengan isoprena dalam jumlah yang kecil. sobutena juga digunakan untuk
memproduksi bahan aditif untuk oli-oli (polyisobutena), detergen (di- and
triisobutylenes) dan pada saat sekarang ini untuk pembuatan MTBE.
3.
Isobutene didapat dari
:
a.
Ekstraksi
pemotongan C4 dari pemecahan uap atau pemecahan
katalitik
b.
Teknik
Reaksi dehidrogenasi isobutana yang serupa dengan propilena atau n-butena di dalam
kondisi operasi yang tersubstansi serupa, pengembangan produk tertentu oleh Air
product (Proses houdry catofin), phillips (proses star) dan UOP ( proses
oleflex).
4. Styrene
(C6H5C2H5) adalah salah satu
senyawa kimia yang mempunyai kegunaan yang sangat besar terutama dalam industri
plastik. Klasifikasi
atau metode prosesnya ada 2 macam, yaitu :
·
Dehydrogenasi
Ethylbenzene
·
Hydrogenasi
–dehydat acetophenone
5. Chloroprene
dapat dimanfaatkan dalam aplikasi – aplikasi yang melibatkan bahan pelarut
(seperti gasket, manifold, permukaan mantel dll), kondisi operasi yang sulit
(sepatu, sabuk transmisi), dan untuk pembuatan lem. Proses Chloroprene ada 3
tahap yaitu:
a. Chlorinasi
b. Isomerisasi
c. Dehidrochlorinasi
DAFTAR PUSTAKA
Chauvel,
A dan G. Lefebvre. 1989. Petrochemical
Procces : Technical and Economic Characteristics Jilid 1. Paris : Institut
Francais Du Petrole Publications.
Wittcoff,
Harold A. dan Bryan G.Reuben. 1996. Industrial
Organic Chemistry. New York : John Wiley and Son, Inc.
Modul
Kuliah Proses Industri Kimia 2. 2013. Politeknik Negeri Sriwijaya: Palembang.
Donald L. Burdick dan William L. Leffler. 1990. Petrochemicals in Nontechnical Language.
Powell Publishing Company
: Lahoma.